Pasangan Yang Seimbang

Written on 11/25/2016
Gki Pondok Indah

Bapak Pdt Joas,

Saya mohon penjelasan mengenai “pasangan yang tidak seimbang” dalam 2 Korintus 6:14. Apakah ayat ini merujuk pada perbedaan keyakinan, iman, atau agama, atau adakah pengertian yang lain? Bagaimana dengan pasangan yang beda iman dan sudah terlanjur “cinta mati”? Lantas, apa dan bagaimana pasangan yang seimbang dalam Kristen? Apakah kedewasaan rohani seseorang dan pasangannya juga penting dan menentukan? Mohon pencerahan Bapak Pendeta. Terima kasih.

(Wulan Nawangsari, Yogyakarta)


Saudari Wulan di kota Gudeg.

Terima kasih untuk pertanyaan Anda yang bukan hanya menarik namun juga sangat relevan bagi situasi kita di Indonesia yang majemuk secara relijius. Kita mungkin tidak pernah membayangkan betapa banyaknya pasangan yang sangat bergumul dengan rencana pernikahan dengan kekasih yang berbeda iman. Memang, 2 Korintus 6:14 kerap dipergunakan sebagai ayat untuk menolak pernikahan beda iman. Ayat ini secara lengkap berbunyi, “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?” Bahkan jika kita melanjutkannya sampai dengan ayat 18, kita akan mendapati nasihat Paulus yang lebih keras lagi. Misalnya, pada ayat 17, ia menulis, “Sebab itu: Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu.” Jadi, bukan hanya jemaat Korintus dinasihati untuk tidak menjadi “pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya,” namun mereka juga harus memisahkan diri dari orang-orang tersebut. Singkatnya, berhentilah bersama-sama dengan mereka dan pisahkan dirimu dari mereka. Sebab, tidak mau berhenti bergaul dengan orang-orang tersebut berarti pula berhenti bergaul dengan Allah.

Masalahnya, jika pernikahan dengan seorang non-Kristen termasuk ke dalam “pasangan yang tidak seimbang” maka orang Kristen yang menikah dengan seorang non-Kristen juga harus menghentikan pernikahan mereka, sebab mereka akan terus menjadi “pasangan yang tak seimbang” dan orang Kristen itu akan gagal memenuhi nasihat Paulus untuk tidak bergaul dengan mereka. Rasanya, jika ini makna ayat itu, maka gagasan ini akan bertolak belakang dengan nasihat Paulus lainnya, misalnya dalam 1 Korintus 7, yang justru melarang seorang percaya untuk mencerikan pasangan non-Kristennya (1Kor. 7:12-13).

Jadi, menurut hemat saya, “pasangan yang tak seimbang” di sini tidak menunjuk pada pasangan suami-isteri. Tentu, ada pendapat yang akan berkata bahwa 1 Korintus 7 diperuntukkan bagi mereka yang sudah menikah dengan pasangan non-Kristen mereka, sedangkan 2 Korintus 6 diperuntukkan bagi mereka yang belum menikah. Namun, pandangan ini tidak konsisten, sebab Paulus lantas memakai standar yang berbeda-beda.

Jika demikian, apa yang dimaksud dengan “pasangan yang tak seimbang”? Kata asli yang dipergunakan, heterozygeō, mengingatkan kita sepasang kerbau yang membajak sawah dengan dipasangi alat pembajak di atas pundak kedua kerbau itu. Jika alat pembajak tersebut tak seimbang, maka kedua kerbau akan gagal membajak dan kerbau yang lemah hanya akan mengikuti arah kerbau yang kuat. Jadi, metafora ini dipergunakan untuk mengingatkan jemaat Korintus untuk relasi dengan orang-orang non-Kristen yang karena ketidakseimbangan relasi membuat orang-orang non-Kristen itu menarik kita menjauh dari Allah.

Secara khusus, bahkan, yang dimaksud dengan orang-orang non-Kristen, atau “orang-orang yang tak percaya” dalam ayat 14 bukanlah sekadar orang-orang yang tidak beragama Kristen. Yang dimaksud dengan sangat jelas adalah orang-orang yang hidup dalam “kedurhakaan” (anomia, yaitu mereka yang hidup tanpa hukum moral yang jelas), yang hidup dalam “gelap” (ay. 14). Mereka adalah orang yang hidup mengikuti Belial, yaitu personifikasi si jahat, (ay. 15 ). Mereka juga penyembah “berhala” (ay. 16). Singkatnya, orang-orang yang justru tidak beragama dan bermoral yang dapat menjauhkan kita dari Allah.

Saya kuatir jika ayat-ayat ini kemudian diterapkan begitu saja pada orang-orang non-Kristen di sekitar kita, yaitu orang-orang beragama yang berusaha hidup dalam moralitas dan keberagamaan yang baik dan bijak, sekalipun mereka bukan orang Kristen. Jadi, ayat-ayat ini tak boleh sembarang kita pakai untuk menolak pernikahan beda-iman. Kalimat “pasangan yang tak seimbang” lebih mengarah pada relasi kita dengan mereka yang dapat membetot dan mengalihkan iman kita pada penyembahan berhala dan hidup yang amoral.

Dengan ini, tentu, saya juga tidak ingin mengatakan bahwa saya setuju bahkan mendukung pernikahan beda-iman. Saya mendukung pernikahan dari sepasang yang dengan cinta, kesetiaan, serta komitmen untuk saling menghargai berani memasuki masa depan bersama-sama. Tak jarang sepasang Kristen ternyata tak memenuhi kriteria ini; namun sering justru kriteria ini saya jumpai pada sepasang kekasih yang berbeda iman yang akhirnya memasuki pernikahan dan langgeng seterusnya. Semoga jawaban ini membantu.