Masih Mungkinkah Membangun GKI Yang Signifikan Dan Relevan?

Written on 01/05/2017
Gki Pondok Indah

Pendahuluan: Menziarahi Eka Darmaputera

Jika saya tidak salah menduga, tema asli yang disodorkan kepada kami berdua, saya dan Mas Ulil, beranjak dari kegelisahan Pak Eka Darmaputera (alm.), yang sangat sering diutarakannya di berbagai kesempatan. Kegelisahan tersebut hadir lewat dua catch-phrases yang menggambarkan situasi gereja-gereja Indonesia: “insignifikansi internal” dan “irelevansi eksternal.” Hal ini nyata lewat tema umum seminar ini, “GKI s.w. Jateng semakin bermakna dan relevan bagi anggotanya maupun masyarakat dan lingkungan di wilayahnya.” Maka, tidak berlebihan jika saya mengajak Anda sekalian menziarahi Eka Darmaputera sekali lagi; mumpung kita sedang berada di kota kelahirannya ini.

Baru-baru ini, saya membaca ulang tulisan-tulisan Eka. Seperti biasa, ada banyak kebijaksanaan yang muncul secara baru. Akan tetapi, pembacaan-ulang teks-teks Eka, khususnya dengan kacamata kedua frase-kunci di atas, membuat saya terkejut. Sebab, saya mendapati adanya keajegan dalam caranya mengungkapkan kekuatiran, kekecewaan dan bahkan kemarahan, pada situasi mandul dan jalan buntu yang dihadapi oleh gereja-gereja Indonesia. Dan kedua frase-kunci di ataslah inti kegelisahan Eka, yang akhirnya memuncak pada sebuah lengkingan tajam:

“… gereja-gereja kita sedang menuju kepada irelevansi total! Padahal sesuatu yang tidak relevan, tidak mungkin berfungsi. Dan sesuatu yang tidak berfungsi? Mati! … gereja- gereja kita mengalami insignifikansi total. Sesuatu yang dianggap tidak berarti, sulit sekali bisa berfungsi. Dan sesuatu yang tidak berfungsi? Mati!” (Eka Darmaputera, “Gereja Mencari Jalan Baru Kehadirannya,” makalah pada SAA 1998).

Sungguh, sebuah kebangkrutan luar-dalam. Seluruhnya. Tidak tersisa. Eka meninggal dalam kekecewaan semacam itu. Dan situasi tidak berubah, jika tidak malah makin memburuk.

Tugas kita hari ini adalah menguji, apakah memang gereja kita sudah mengalami insignifikansi internal yang sangat parah, bahkan total. Semoga saja Mas Ulil dapat membantu kita hari ini menguji, apakah memang gereja pun juga sudah mengalami irelevansi eksternal yang sangat parah, bahkan total. Akan tetapi, ada baiknya kita mendalami, apa yang Eka tengarai sebagai penyebab virus fatal ini. Ia sangat yakin bahwa penyebabnya tak lain adalah hilangnya kredibilitas, yang disertai juga hilangnya respek, gereja di mata umat maupun masyarakat. Jika memang sudah tak lagi bisa-dipercaya (credible) dan dihormati (respectful), apa lagi yang bisa ditawarkan oleh gereja? Hilangnya citra-diri dan citra-sosial semacam itu, menurut Eka, pertama-tama merupakan hasil langsung dari sebuah eklesiologi yang terlalu bertumpu pada pembangunan gereja yang “institusional, formal dan struktural.” Yang lebih celaka lagi, dengan raibnya kedua kualitas utama itu, gereja justru menyibukkan diri dengan konflik, yang juga tidak relevan dan tidak signifikan, yaitu konflik seputar institusi, formalitas dan struktur. Termasuk di dalam, tentu, soal uang, prestise serta jabatan.

Entah apakah kita hari ini sepakat dengan pengamatan Eka. Saya sendiri melihat, sejauh ini tak ada penilaian kritis lain atas situasi gereja-gereja Indonesia sebening yang diajukan Eka. Kita bisa juga memahami banyaknya masalah internal yang terjadi di jemaat- jemaat kita akhir-akhir ini dari kacamata yang sama. Konflik-konflik yang muncul, yang lebih sering melibatkan para pejabat gereja, penatua dan pendeta, serta yang penyebab konfliknya sangat tidak signifikan, sesungguhnya menjadi pratanda bahwa gereja kita memang makin tidak signifikan secara internal dan tidak relevan secara eksternal.

Sementara itu, walau visi GKI sudah diformulasikan, jemaat-jemaat di tingkat lokal seakan tidak punya cukup kekuatan untuk mengimplementasikannya secara nyata. Alhasil, formula-formula visi tersebut makin mirip dengan tema-tema kegiatan pemerintah yang banyak kita jumpai di spanduk-spanduk sejak zaman Orde Baru. Kalimatnya panjang- panjang, dengan tatabahasa yang sering keliru, sarat isi, namun kosong bukti.

 

Menimbang Solusi Ganda Eka Darmaputera

Lantas, pertanyaan yang paling penting, bagaimana mengatasi kebuntuan ini? Bagaimana pula Eka Damaputera mengusulkan solusi atas situasi gawat ini? Sebuah teologi umat semacam apa yang diperlukan agar jemaat-jemaat kita dapat kembali signifikan secara internal; sebuah teologi sosial semacam apakah yang perlu dikonstruksi agar jemaat-jemaat kita dapat kembali relevan secara eksternal? Jelas, tak ada rumus sederhana dan resep cespleng untuk situasi ruwet kita. Sementara itu, situasi makin memburuk. Beberapa peristiwa belakangan makin membuat kita makin gagap dan nervous untuk berkata, bahwa ada yang bisa kami, orang Kristen Indonesia, bagikan demi perubahan bangsa ini. Dan agaknya, memang sungguh-sungguh dibutuhkan cara berpikir yang kreatif dan radikal untuk mengurai benang- kusut kehidupan gereja kita ini. Sebagaimana Albert Einstein suatu kali berkata, “Masalah-masalah penting yang kita hadapi tidak dapat diselesaikan dengan tingkat berpikir yang sama dengan ketika kita menciptakannya.”

Untuk mengatasi jalan buntu di atas, Eka Darmaputera sendiri tampaknya memberikan usulan ganda. Keduanya tidak secara memuaskan saling melengkapi dan saling  mengutuhkan. Kedua jalan tersebut sebenarnya lahir dari dua tradisi besar teologi sosial di masa modern yang saling bersaing, dengan asumsi dasarnya masing-masing, yang sayangnya tidak compatible satu dengan yang lain. Jalan pertama, yang saya sebut saja jalan partisipatif (peranserta), agaknya meneruskan model yang sejak lama dipakai oleh gereja-gereja Indonesia dan yang secara khusus disistematisasi oleh T.B. Simatupang. Atas nama “partisipasi orang Kristen ke dalam pembangunan nasional”—demikian slogan yang akrab didengar tahun- tahun itu—kita perlu menjalin kerjasama dengan semua pihak: pemerintah, agama lain, serta elemen masyarakat lainnya. Maka, sebagai partisipan yang baik dalam sebuah mesin raksana bernama pembangunan nasional, gereja perlu menyepakati nilai-nilai ideal dari ideologi Pancasila yang menggerakkan roda pembangunan tersebut. Tak heran jika kita, sebagai gereja Tuhan, kemudian mengadopsi situasi-ideal yang “universal” yang lantas kita oplos dengan situasi-ideal khas Kristiani. Maka muncullah rumusan seperti “kesejahteraan, keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan” (Mukadimah Tata Gereja GKI, alinea 10), yang kemudian diberi bobot dan pembenaran teologis.

Semangat semacam ini sebenarnya masih diwarisi oleh GKI hingga kini. Mukadimah Tata Gereja kita, alinea 9, menyatakan:

[9] Sebagai gereja di Indonesia, GKI mengakui bahwa gereja dan negara memiliki kewenangan masing-masing yang tidak boleh dicampuri oleh yang lain, namun keduanya adalah mitra sejajar yang saling menghormati, saling mengingatkan, dan saling membantu.

Yang menarik (dan yang aneh, setidaknya bagi saya), penjelasan ketiga atas alinea ini menyatakan:

3. GKI mendukung, terlibat dan berpartisipasi penuh dalam pembangunan nasional oleh karena GKI memahami pembangunan nasional sebagai upaya sengaja dan terencana untuk mewujudkan kehidupan bangsa Indonesia yang lebih baik dalam arti yang seluas- luasnya dan sepenuh-penuhnya. Dukungan, keterlibatan dan partisipasi tersebut harus diwujudkan dengan sikap positif, kreatif, kritis dan realistis. Positif artinya terbuka terhadap hal yang baik; kreatif artinya dalam kuat kuasa Roh Kudus terlibat secara aktif dalam usaha-usaha pembaruan; kritis artinya melihat segala sesuatu dalam terang Firman Allah; realistis artinya sadar akan waktu dan batas-batas kenyataan dan tidak terbawa oleh impian kosong. 

Mengapa bagi saya hal ini aneh. Pertama-tama, karena klausa “mendukung, terlibat dan berpartisipasi penuh dalam pembangunan nasional” mengisyaratkan bahwa kita adalah partisipan yang serba-manut, tanpa sikap kritis, terhadap ideologi developmentalisme yang sudah lama dikritisi oleh banyak pihak. Empat dari posisi Kristiani yang dipopularkan oleh Pak Sim (positif, kritis, kreatif, realistis) memang mengandung kata kritis. Namun, di Tata Gereja kita, urutan keempat posisi tersebut diubah menjadi “positif, kreatif, kritis dan realistis.” Eka sendiri menengarai pengubahan urutan ini sebagai sebuah perubahan paradigmatis dari sikap gereja terhadap negara dengan ideologi pembangunan nasionalnya. Alhasil, dinamika, bahkan dialektika, positif-kritis yang semula dimaksudkan Pak Sim jadi raib. Bahkan, seandainya pun urutan asli Pak Sim dipertahankan, posisi rangkap-empat itu, menurut Eka, hanyalah mengindikasikan sikap kita dalam relasi dengan penguasa atau negara, namun bukan dengan masyarakat. Sikap yang blurred dan opaque dalam membedakan negara dan masyarakat ini sungguh merugikan, karena dengan mudahnya kita menganggap bahwa partisipasi gereja ke dalam proyek negara sudah sama artinya dengan partisipasi dalam membangun masyarakat-warga (civil society). Dan, sekali lagi, hal ini tercermin kental dalam Mukadimah Tata Gereja GKI. Posisi rangkap-empat itu ditaruh sebagai penjelasan atas alinea 9 yang mengatur hubungan gereja dan negara, bukan hubungan gereja dan masyarakat. 

Keanehan yang kedua dari alinea 9 Mukadimah Tata Gereja dan penjelasannya adalah ini. Jika sebelum dan sesudah alinea ini kata kunci utama eklesiologi GKI adalah misi Allah dan peranserta (baca: partisipasi) GKI di dalamnya, maka di alinea 9 dan penjelasannya ini partisipasi GKI “berbelok” ke dalam pembangunan nasional, tanpa acuan sama sekali pada misi Allah dan partisipasi GKI di dalamnya. Pertanyaannya kemudian, apakah pembangunan nasional adalah wujud dari misi Allah itu sendiri? Menyamakan keduanya sungguh berbahaya, karena ketika sikap kritis hilang, kita bisa dengan mudah melegitimasi proses pembangunan nasional ketika ia melenceng. Namun memisahkan keduanya juga memunculkan masalah, karena lantas partisipasi GKI di dalam misi Allah dan partisipasi GKI di dalam pembangunan nasional bisa memunculkan sebuah gereja yang berwajah-ganda, apalagi ketika keduanya tidak compatible satu dengan yang lain.

Singkatnya, jalan partisipasi, sebagai jalan pertama yang sejak awal menjadi usulan Eka, agaknya makin terlihat masalahnya. Dan untungnya, Eka akhirnya menyadari hal ini, khususnya setelah peristiwa pemberian upeti dua kilogram emas ke istana (1998) yang memalukan itu, yang sudah secara vulgar menodai makna “partisipasi.” Partisipasi semacam itu tampak sungguh positif, kreatif dan realistis—namun tak ada elemen kritisnya sama sekali.

Secara perlahan, Eka lantas menyodorkan jalan kedua, yang sebenarnya sudah berkali- kali dilontarkannya juga sejak dulu, walau tidak segamblang jalan pertama. Jalan kedua ini bisalah disebut sebagai jalan eksemplaris (percontohan). Dalam disiplin teologi sosial, jalan eksemplaris ini diwakili oleh para pemikir seperti John H. Yoder, Stanley Hauerwas, Alasdair MacIntyre dan lain-lain, yang bahkan akar-akar teologisnya bisa ditarik jauh ke pemikiran Karl Barth. Sementara itu, jalan partisipatif dengan jelas dipromosikan oleh mayoritas pemikir sosial Kristen abad ke-20, seperti Reinhold Niebuhr, misalnya. Jika jalan partisipatif cenderung bersifat akomodatif pada situasi eksternal, dengan ongkos pengaburan identitas Kristiani, jalan eksemplaris lebih menekankan jatidiri gereja yang berbeda secara kualitatif dengan dunia, dengan risiko isolasionisme yang kebablasan. 

Dan Eka benar ketika ia menengarai bahwa, sekalipun Pak Sim menyatakan diri dipengaruhi oleh Karl Barth, sesungguhnya pemikiran Niebuhr-lah yang lebih memberi pengaruh besar pada paradigma partisipasinya. Artinya, amatlah janggal jika pandangan Barth sampai bisa mengasuh Pak Sim untuk mempromosikan paradigma partisipasinya, yang juga sempat selama beberapa dasawarsa mewarnai pemikiran Eka sendiri.

Eka sendiri sejak awal terombang-ambing di antara dua jalan tersebut. Agaknya, ia ragu untuk mempromosikan jalan eksemplaris dan memilih untuk memberi kesempatan kepada jalan partisipatif untuk membuktikan keampuhannya. Barulah kemudian, ketika jalan partisipatif menemui jalan buntu, cul de sac, Eka makin yakin dengan jalan kedua, jalan eksemplaris. Ini terjadi khususnya ketika bangsa Indonesia mengakhiri abad ke-20 dan memasuki abad ke-21.**

Uniknya, sementara aslinya, jalan eksemplaris a la Hauerwas dan kawan-kawan sangat enggan berbicara tentang keterlibatan sosial gereja, kecuali melalui penegasan identitas Kristiani, Eka memodifikasi model ini dengan berkata bahwa justru keteladanan gereja yang eksemplaris seharusnya ditunjukkan dengan keterarahan keluar pada dunia—sebuah pandangan yang asing bagi Hauerwas dan kawan-kawan. Berbeda dengan isolasionisme Hauewas dan kawan-kawan, model eksemplaris yang diajukan Eka berujung pada sebuah rekonstruksi gereja sebagai “suatu komunitas yang eksemplaris serta mempunyai kesadaran sosial yang tinggi,” katanya, dalam makalah “Pembaruan Gereja Menuju Masa Depan” di GKI Pondok Indah pada tanggal 16 September 2000. Artinya, Eka memodifikasi paradigma eksemplaris yang isolasionistis itu menjadi ramah-sosial.

Itu berarti, saya perlu mengingatkan, Eka sendiri ternyata tidak sepenuhnya meninggalkan jalan partisipatif. Ia tidak rela melepaskan apa yang diperjuangkannya selama bertahun-tahun, sekalipun akhirnya kandas. Ia tahu bahwa keduanya tidak benar-benar compatible, tapi ia masih percaya pada kemungkinan untuk memadukan keduanya. Itu sebabnya, yang sempat dikerjakannya adalah berusaha mencangkokkan pemikiran model Hauerwas ke dalam struktur Niebuhrian. Atau, dengan kata lain, Eka tidak sungguh-sungguh rela melepaskan jalan partisipatif yang sudah sejak lama dipercayainya mampu menolong gereja-gereja untuk hadir secara otentik di bumi Indonesia.

Apa sebenarnya yang menjadi dasar utama pemikiran eksemplaris? Esensi pemikiran eksemplaris, sebagaimana ditunjukkan oleh Stanley Hauerwas adalah identitas gereja yang berbeda secara radikal dengan dunia. Musuh utama Hauerwas adalah Reinhold Niebuhr dan Social Gospel. Keduanya dikritik secara keras karena dianggap tidak mempertahankan keunikan iman Kristen yang menubuh dan mewujud secara konkret dalam Gereja yang dikepung oleh dunia (dan karenanya memang tak bisa melarikan diri dari dunia, selain memeragakan Kerajaan Allah di dalam Gereja). Maka, demikian kata Hauerwas, “Celakalah kita karena tragedi kita yang terbesar muncul karena Gereja terlalu ingin melayani dunia” (Hauerwas dan Willimon, Resident Aliens: Life in the Christian Colony, 1989, 43). Itu sebabnya,

bagi Hauerwas, keadilan merupakan gagasan buruk bagi kekristenan. Bagi Hauerwas, gagasan Niebuhr yang ingin mentransformasi masyarakat justru mengakibatkan Gereja terasimilasi ke dalam masyarakat.

Di satu sisi, pengamatan Hauerwas atas Niebuhr benar. Niebuhr terombang-ambing antara posisi transformasionis (ingin mengubah dunia) dan asimilasionis (larut ke dalam dunia). Namun, di sisi lain, kritik ini didasarkan pada model eklesiologis Hauerwas yang sangat isolasionistis, atau malah sektarian. Dikotomi antara Kristen dan non-Kristen menjadi tatabahasa utama Hauerwas dalam mengartikulasikan teologinya.

Singkatnya, Niebuhr dan Hauerwas mewakili dua modus vivendi (cara hidup) Kristen di tengah dunia. Yang pertama berusaha secara sadar hadir di tengah dunia untuk mengubah dunia (Niebuhr), yang kedua mau tak mau hadir di tengah dunia, namun dengan mengurung diri dan dengan harapan menjadi komunitas-teladan (Hauerwas). Dan Eka terombang-ambing di antara keduanya. Ia merasa bahwa model partisipatif a la Niebuhr telah sampai pada kebuntuan, namun sebelum sempat mengelaborasi pemikiran eksemplaris a la Hauerwas, ia telah keburu meninggalkan kita, dengan eksperimentasi dan modifikasi “jalan eksemplaris” yang belum tuntas.

Maafkan saya, jika paparan saya di atas, semakin lama malah semakin njlimet dan terkesan tanpa ujung-pangkal. Saya menyadari bahwa analisis saya tersebut lebih tepat menjadi konsumsi para akademisi. Untuk itu, rasanya perlu juga menyarikan kompleksitas persoalan di atas lewat beberapa kalimat sederhana. Begini. 

Jalan partisipatif mengharuskan gereja berperanserta dalam dinamika sosial yang terjadi di Indonesia. Tujuannya untuk mentransformasi masyarakat. Untuk itu diperlukan bahasa dan pemahaman bersama tentang apa yang kita perjuangkan sebagai satu bangsa. Gereja terpanggil untuk terlibat dalam perjuangan tersebut. Model ini menjanjikan karena memberi dorongan bagi orang Kristen untuk menjalin relasi dengan sesamanya. Namun, kelemahan mendasar model ini juga jelas. Pertama, gereja tanpa sadar larut dalam kehidupan sosialnya dan mengikuti irama masyarakat tanpa sikap kritis yang memadai. Kedua, partisipasi itu bisa dengan mudah dimaknai sebagai keikutsertaan ke dalam proyek pemerintah atau negara. Dan sekali lagi tanpa sikap kritis.

Jalan eksemplaris, sebaliknya, memahami kehadiran gereja di dalam dunia bukanlah untuk berpartisipasi ke dalam dinamika sosial menuju kebaikan bersama, namun untuk memberi teladan moral. Untuk itu, gereja perlu mengusahakan gaya-hidup alternatif yang sama-sekali berbeda dengan dunia. Tidak usahlah mencampuri urusan negara atau bekerja bersama untuk kebaikan sesama, karena itu bukan tugas utama gereja. Kelebihan model ini, dibanding yang pertama, adalah kesediaannya untuk berkonfrontasi dengan dunia dan memelihara sikap kritis. Sayang, kelemahannya justru muncul dari kelebihan tadi, yaitu bahwa ia cenderung mengisolasi diri dan menjadi sektarian.

 

Melanjutkan Jalan Eksemplaris atau Mencari Jalan Baru … atau Tidak Usah Berjalan Saja?

Ada godaan besar menghinggapi banyak orang Kristen Indonesia akhir-akhir ini untuk tidak melanjutkan perjalanan bersama segenap bangsa ini. Toh, partisipasi kita selama ini berbuahkan pembakaran dan pembongkaran gedung-gedung gereja serta pelarangan beribadah, belum lagi kekerasan fisik dari kelompok radikal agama lain dan omisi atau pembiaran pemerintah atas seluruh dukalara gereja tersebut.

Selain sikap muthung di atas, yang kedua, kita bisa saja berjalan, namun tak maju-maju. Sebab, kita berjalan—bahkan berlari—di atas apa yang sering saya sebut sebagai ministerial treadmill. Kita tak punya kemauan dan kemampuan untuk menghentikan treadmill tersebut, selain mengikuti lajunya, yang makin lama makin bertambah kencang itu. Yang saya maksud, gereja terlalu disibukkan dengan kegiatan-kegiatan internalnya saja. Menjadi sangat sibuk dan kian sibuk, tanpa memberi hasil konkret bagi kebaikan bersama. Energi gereja yang besar itu dihabiskan hanya untuk mempersehat diri di atas treadmill pelayanan kepada diri sendiri, namun tidak menyehatkan dunianya.

Yang ketiga, sikap enggan berjalan bersama seluruh bangsa bisa juga muncul dengan alasan yang sangat vertikalistis … dan egoistis. Kita tidak sedang menuju ke suatu masa depan bersama seluruh bangsa ini. Kita, umat pilihan ini, sedang menuju ke surga, bagai menaiki “tangga Yakub” (Jacob’s ladder—Kej. 28:10-12). Tugas kita, sebagaimana rumusan visi sebuah gereja di Indonesia, adalah “Mempersiapkan Jemaat yang Kudus, Misionaris dan Siap ke Sorga.”

Isolasionisme semacam ini tentulah tidak cocok, jika tidak malah berlawanan, dengan spiritualitas GKI. Jenis ini juga bukanlah yang dimaksud Eka saat mengusulkan sebuah model gereja eksemplaris yang berwawasan sosial. Jelaslah kita harus terus berjalan. Bahkan, jika pun terpaksa berhenti, kita melakukannya demi menemani banyak rakyat Indonesia yang tak kuat lagi berjalan. Kita berhenti untuk menopang mereka yang terjatuh dan menyemangati mereka untuk bangkit kembali dan meneruskan ziarah bersama.

Kini kita berada di persimpangan jalan, dengan beragam pilihan yang serba-sukar. Saya lantas ingat nasihat Tuhan melalui seorang nabi dari Anatot:

Beginilah firman TUHAN:

Ambillah tempatmu di jalan-jalan dan lihatlah, tanyakanlah jalan-jalan yang dahulu kala, di manakah jalan yang baik, tempuhlah itu, dengan demikian jiwamu mendapat ketenangan. Tetapi mereka berkata: Kami tidak mau menempuhnya! (Yer. 6:16; TB-LAI)

Thus says the Lord: Stand at the crossroads, and look, and ask for the ancient paths, where the good way lies; and walk in it, and find rest for your souls. But they said, ‘We will not walk in it.’ (Jer. 6:16; NRSV)

Kita bisa saja mencari jalan yang sama sekali baru. Namun, itu sudah pasti lebih melelahkan. Kita harus mulai dari kilometer nol lagi; harus belajar lagi ABC-nya kehidupan sosial gereja. Karena itu, saya mengusulkan agar kita menempuh “jalan yang dahulu kala” itu, yang telah dipelopori oleh Eka, yaitu sebuah jalan eksemplaris. Sembari memercayai insting teologis- sosial Eka, kita berusaha menemukan cara-cara baru untuk memaknai perjalanan menempuh jalan eksemplaris tersebut.

Beberapa cara strategis sebenarnya sudah sempat diusulkan oleh Eka. Dan saya berkewajiban untuk membagikannya kepada Anda semua. Setidaknya, ada empat hal yang Eka bayangkan sebagai ciri dari gereja sebagai komunitas eksemplaris. Keempatnya saya jumput dari banyak tulisan Eka yang berserakan di beberapa makalah. 

Pertama, perubahan paradigma dari orientasi kepada kekuasaan menjadi orientasi kepada rakyat kecil. Sementara seluruh dinamika politik di negeri ini tidak kuasa melepaskan diri dari cengkeraman “politik kekuasaan,” gereja sebagai komunitas eksemplaris perlu menghidupkan dan menghidupi “politik kehidupan,” yaitu sebuah politik yang bertujuan untuk meruwat dan merawat kehidupan bersama ini.

Kedua, perubahan posisi gereja-negara yang diusulkan oleh Pak Sim (positif, kritis, kreatif, realistis) menjadi posisi gereja-masyarakat (dan  rakyat miskin) yang memakai rumus “pembaruan, kebangsaan dan kerakyatan” atau “demokrasi, persatuan dan keadilan.”

Ketiga, gereja sebagai komunitas eksemplaris perlu menegaskan cirinya yang inklusif, inspiratif dan rekonsiliatif. Ketiga ciri ini berlawanan dengan gereja sebagai “jawatan” yang lebih menyibukkan diri dengan urusan institusional yang sudah barang tentu bersifat sangat eksklusif dan malah ekspansif.

Yang keempat, yang juga sama pentingnya, model eksemplaris mengunggulkan integritas moral, komitmen berbasis nurani dan konsistensi tindakan. Itu sebabnya berulang kali Eka menegaskan bahwa pembentukan komunitas eksemplaris selalu “mulai dari diri sendiri.”

Kita bisa melihat dari keempat ciri komunitas eksemplaris di atas, bahwa Eka memang mau menggabungkan kedua jalan utama tersebut. Ia tetap bergeming pada posisi dasarnya: Gereja ada untuk dunia; gereja harus memikirkan kebaikan bersama. Hanya saja, strategi partisipatif-murni agaknya gagal, karena malah mengasimilasi dan mengakomodasi gereja ke dalam struktur yang busuk, yaitu ketika gereja berorientasi pada kekuasaan. Maka modifikasi yang diusulkannya lewat jalan eksemplaris adalah: Alihkan orientasi gereja, bukan lagi kepada kekuasaan, melainkan kepada rakyat kecil. Juga, alihkan kecenderungan gereja untuk mengurusi lembaga dan struktur dan berubahlah menjadi gerakan moral. Singkatnya, partisipasi terbaik harus dilakukan dengan cara menjadi teladan atau contoh.

Usulan saya, kita ujicoba saja “jalan yang dahulu kala” dari Eka ini, sementara kita tak mampu merancang-bangun jalan kita sendiri. Untuk itu, ada beberapa ciri lain dari komunitas eksemplaris yang perlu saya tambahkan terhadap empat ciri yang sudah Eka sampaikan.

Komunitas eksemplaris yang berwawasan sosial haruslah melawan kebiasaan buruk di dalam masyarakat untuk menyiasati kepelbagaian dengan cara penyeragaman. Perbedaan haruslah dirayakan, bukan diseragamkan. Tendensi penyeragaman di dalam masyarakat itu, celakanya, telah menggarami GKI secara efektif. Setidaknya, saya melihat pola kerja sejenis dalam pengelolaan organisasi GKI. Apa-apa harus seragam. Peluang untuk menjadi berbeda diminimalisasi, jika tidak diharamkan. Mulai dari urusan remeh-temeh seperti stola sampai dengan pola bina kader yang berlaku seragam untuk semua “kader GKI.” Para petinggi GKI itu memang belum bisa mengetahui bahwa penyatuan tidak sama artinya—bahkan sering berlawanan arti dengan—penyamaan.

Yang keenam, komuitas eksemplaris perlu mengurai kompleksitas organisasinya, lengkap segala perniknya, untuk kembali ke bentuk organisme yang dinamis dan cair. Lupakanlah urusan membangun gedung-gedung baru, jika demi itu kita malah kehilangan tujuan utama hidup menggereja. Agaknya, kita perlu belajar dari banyak gereja pentakostal-karismatik yang mengambil sikap pragmatis untuk menyewa saja gedung-gedung yang ada dan tak mau direpotkan dengan urusan perizinan gedung gereja. Tentu, sikap sedemikian perlu diimbuhi dengan orientasi sosial. Atau, singkatnya, sebuah pragmatisme-sosial, yang hanya mau direpotkan dengan pelaksanaan visi dan misi bagi dunia ini.

Ketujuh, GKI sebagai komunitas eksemplaris harus melakukan secara serius diet- gerejawi, bukan dengan cara membakar kalori/energi kita dengan menambah kegiatan gerejawi di dalam (ministerial treadmill), namun mengalihkan energi tersebut untuk urusan-urusan yang lebih substansial. Maka, dibutuhkan sebuah alat-bantu bagi jemaat-jemaat untuk menyortir apa-apa saja yang memang substansial dan yang hanya asesoris; yang wajib dimiliki (must-have) dan yang sekadar baik-jika-ada (nice to have); yang bergizi dan yang justru merusak; yang penuh nutrisi dan yang memunculkan “radikal bebas” yang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup gereja. Hal yang sama berlaku tentunya bagi klasis-klasis, sinode-sinode wilayah dan sinode.

Menjadi komunitas eksemplaris bakal tak tercapai jika tidak dibarengi dengan usaha membentuk pribadi-pribadi eksemplaris. Sejauh ini kita sangat bergantung pada tokoh-tokoh eksemplaris masa kini dan melupakan tugas untuk menciptakan tokoh- tokoh eksemplaris masa depan. Arahkanlah energi besar kita pada penciptaan sistem pendidikan yang berkarakter eksemplaris-sosial; sebuah sistem yang tidak sama dengan model Christian character building (CCB) yang justru cenderung sektarian, serta yang tidak sama dengan model pendidikan teknokratis-ekonokratis dari banyak sekolah Kristen kita. Mengapa pendidikan sangat penting? Sebab, mengubah tiadanya respek dan kredibilitas di mata umat dan masyarakat—mengubah insignifikansi dan irelevansi—bukanlah pekerjaan membalik telapak tangan. Dibutuhkan waktu panjang, kesabaran dan visi yang jernih untuk menuntaskannya. Dan tentu saja, dibutuhkan pemain-pemain baru yang telah dipersiapkan sejak dini. Dengan menggantungkan diri pada tokoh-tokoh eksemplaris masa kini, kita akan kehilangan kesempatan emas untuk menyiapkan tokoh-tokoh eksemplaris masa depan, sementara yang tersedia pada masa kini paling-paling akan luruh dalam satu dekade atau lebih sedikit. Dan ketika mereka undur, kita akan terkejut sebab tak ada pengganti-pengganti yang mumpuni dan siap—sebagaimana kita dikejutkan dan dibuat limbung dengan kepergian Eka Darmaputera. Lebih dari itu, yang harus disiapkan bukanlah para (calon) aktivis gereja, namun aktivis kehidupan. Sebab, sebagaimana saya masih memercayainya hingga kini, gereja yang sehat adalah gereja yang sepi kegiatan, sebab anggota-anggota jematnya terlalu sibuk mengurusi persoalan dunia ini. Maka, jika pun gereja memiliki kegiatan, itu pastilah kegiatan- kegiatan yang sungguh-sungguh terpilih yang mampu menginspirasi anggota jemaat untuk menjadi warga dunia yang baik. Sebaliknya, jangan sampai gereja dipenuhi oleh kegiatan-kegiatan yang dinikmati orang-orang yang hanya mengisi waktu kosong tanpa karya sosial yang berarti, apalagi untuk mencari popularitas, pengaruh dan posisi gerejawi. Sebab, tak bisa dicegah, konflik internal gereja—sebagaimana menjamur akhir-akhir ini di banyak jemaat kita—akan tumbuh dengan sangat suburnya di saat gereja dihuni oleh orang-orang Kristen semacam itu. Gereja yang mustinya menjadi tempat “servis mobil,” agar mobil itu bisa berfungsi tokcer di jalan raya, berubah menjadi sebuah “showroom mobil,” atau malah sebuah “arena balap mobil.”

Terhadap dua set posisi rangkap-tiga Eka (lih. no. 2 di atas: “pembaruan, kebangsaan dan kerakyatan” atau “demokrasi, persatuan dan keadilan”), yang kesembilan, kita perlu menambahkan posisi rangkap-tiga lain: penatalayanan hidup, persahabatan sosial dan keramahtamahan ekologis. Menatalayani kehidupan memusatkan seluruh hidup Kristiani sebagai pelayan dan pengelola kehidupan—kehidupan bersama!— dalam kesetiaan, pelayanan dan hikmat. Kesediaan untuk menatalayani kehidupan membuat benda (termasuk aset, harta, dan lainnya) tak lagi diunggulkan dan manusia tak lagi dibendakan. Persahabatan sosial memusatkan relasi antarpribadi sebagai cara terjitu untuk menghargai sesama, tanpa mempedulikan latar sosial, kultural dan religiusnya. Persahabatan sosial meletakkan filia sebagai ruh dalam relasi tersebut, bukan agape. Sebab, kasih agape berarti penerimaan tanpa syarat, walau sesama itu tak layak (maka, harus ada penilaian terlebih dahulu bahwa yang lain itu memang tak layak). Sebaliknya, filia atau kasih persahabatan justru mengandaikan pengakuan bahwa yang lain itu bernilai dan berharga (dan karenanya kita bersahabat dengan mereka). Akhirnya, keramahtamahan ekologis menilai segala ciptaan selalu memiliki nilai sakramental. Segala sesuatu dirahmati dan direngkuh oleh Allah. Karenanya, dunia menjadi arena untuk menghidupi iman. Kita tak lagi mencari-cari rumah kekal kita, karena kita merasa at home hidup di dalam dunia ini.

Posisi rangkap-tiga ini merupakan bahasa Kristen untuk menolak tiga kecenderungan dunia yang mengancam kemanusiaan, yaitu: pembedaan manusia akibat ekonomi kapitalis, dominasi sosial-politik dari satu kelompok atas kelompok lain, serta kebencian pada yang lain yang muncul sebagai akibat dari ketidaksanggupan mengakui nilai sakramental dari mereka yang berbeda dengan diri sendiri.

Akhirnya, yang kesepuluh atau yang terakhir, komunitas eksemplaris berwawasan sosial juga perlu memiliki visi masa depan yang bening. Yaitu, sebuah visi yang tidak memaksa diri untuk menyesuaikan atau mengakomodasi diri dengan dunia, demi masa depan yang dicipta bersama, namun sebuah visi yang meyakini bahwa kerajaan Allah di masa depan itu memasuki masa kini secara diam-diam—merasuk dan meragi.

Di dalam karya terbaiknya, After Virtue (1981), Alasdair MacIntyre menutup bukunya dengan sebuah kalimat yang sangat menawan: “We are waiting not for a Godot, but for another—doubtless very different—St Benedict.” “Kita tidak sedang menanti seorang Godot, namun seorang St. Benedict yang lain—yang pastilah sangat berbeda dengan yang sebelumnya.” Waiting for Godot merupakan sebuah drama absurd yang lahir dari tangan Samuel B. Beckett, yang bercerita tentang absurdnya penantian segelintir manusia akan kedatangan seseorang yang bernama Godot (yang tak jelas siapa dia, bahkan bagi Beckett sendiri). Yang kita nantikan, kata MacIntyre, bukanlah seorang Godot, namun seorang St. Benedict yang sama sekali berbeda. Singkatnya, penantian eskatologis kita bukanlah sebuah tindakan absurd. Namun, penantian itu merupakan sebuah pengharapan yang memberi kepastian.

Santo Benedict dari Nursia (480-547) dikenal karena komunitas monastiknya, yang diharapkannya menjadi komunitas eksemplaris melalui teladan karakter dan moralnya. Ia membangun komunitas monastiknya setelah dengan hati hancur menyaksikan kebobrokan dunianya. John Henry Newman, seorang teolog Katolik abad ke-19, mengungkapkan apresiasinya, dengan berkata bahwa St. Benedict menemukan dunia, fisik dan sosial, berada di dalam reruntuhan, dan misinya adalah untuk memperbaikinya … dengan begitu tenangnya, dengan sabar, dan bertahap, hingga kerap sebelum selesai dilakukan, pekerjaan tersebut tidak dikenali tengah berjalan … Karya baru yang ia ciptakan itu merupakan sebuah pertumbuhan ketimbang sebuah struktur. (Historical Sketches, 1906, 410)

Rasanya cara kerja St. Benedict yang serupalah yang perlu kita miliki. Sebuah cara kerja yang berpengharapan yang tenang namun pasti; sabar namun tetap bergerak sekuat tenaga; bertahap namun tidak mekanis; tak dikenali namun dirasakan dampaknya. Semoga, kita masih punya sedikit nafas untuk berharap, berjuang serta menjadi teladan.

Joas Adiprasetya*

 

*JOAS ADIPRASETYA (jadiprasetya@gmail.com) adalah pendeta jemaat GKI Pondok Indah, Jakarta, yang menjadi PTKJ ditugaskan secara khusus oleh untuk menjadi dosen penuh-waktu di STT Jakarta dalam bidang Sistematika dan Etika. Makalah ini disiapkan untuk Seminar Persidangan VI Majelis Sinode Wilayah GKI sw Jateng, Magelang, 22 September 2010.