Peneguhan dan Pelepasan Serta Pisah Sambut Penatua GKI PI



~sebuah upaya untuk menjaga fokus pemberitaan Injil Keselamatan ~

Peneguhan Penatua
Pada Ibadah GKI Pondok Indah Minggu, 26 September 2021 yang dipimpin oleh Pdt. Joas Adiprasetya telah diselenggarakan Peneguhan Penatua Baru dan mereka yang melanjutkan kepenatuaannya di periode kedua, serta pelepasan Penatua yang mengakhiri masa satu atau dua periode kepenatuaan mereka.

Dalam khotbahnya yang diberi judul ‘Bebaskan Aku dari yang Tidak Aku Sadari’ Pdt, Joas mengulas sepenggal kisah perjalanan bangsa Israel yang diambil dari Bilangan 11. Bangsa Israel mengeluh berkepanjangan karena menginginkan daging. Mereka merasa tidak cukup makan manna saja. Mereka menginginkan daging. Begitu besar keinginan mereka makan daging sampai-sampai mereka dengan kurang ajar menafikan pemeliharaan Allah yang ajaib itu dan membandingkannya dengan kondisi mereka di Mesir yang dicukupi dengan segala macam makanan, meskipun harus hidup sebagai budak. Mereka membandingkan Tuhan yang menyelamatkan, dengan Firaun yang menindas. Ukurannya adalah ‘perut’. Perut mereka merasa nyaman atau tidak. Itulah dosa orang Israel yang membangkitkan murka Allah.

Kibrot-Taawa Tragedy
Bukan sekadar ungkapan sarkastis ketika di pembacaan awal mereka ini disebut kaum bajingan. Mereka memang segerombolan orang yang telah dirasuki kerakusan sehingga tidak memandang penting kuasa Tuhan yang membebaskan mereka dari perbudakan dan hanya membandingkannya dengan kenikmatan makan. Dalam pengembaraan di padang pasir itu mereka bukannya tidak mendapatkan makanan—karena Allah mencukupi mereka dengan manna—hanya
saja mereka menginginkan lebih. Kerakusan membuat mereka kurang ajar dan berlaku tidak hormat kepada Tuhan yang telah melakukan segala perbuatan ajaib bagi mereka.

Allah memang memenuhi keinginan mereka dengan mengirimkan burung puyuh yang tidak saja memenuhi area perkemahan mereka, tetapi juga meliputi daerah yang sangat jauh lebih luas, yang bahkan amat berlebih untuk mencukupi konsumsi daging bagi enam ratus ribu orang. Mereka sangat senang dan dengan rakusnya mengumpulkan burung- burung puyuh itu secara berlebihan. Mereka mengolah dan memasak serta segera menyantapnya. Namun selagi daging itu baru mereka gigit dan belum sempat mengunyahnya, Allah menghabisi mereka dalam murka- Nya. Mereka ditimpa tulah yang amat dahsyat. Dan matilah orang-orang rakus itu dengan daging masih di mulut mereka. Tempat itu kemudian dinamai Kibrot-Taawa, tempat orang- orang rakus dikuburkan.

Gluttony: The Deatlhly
Sin Lucius Annaeus Seneca, seorang filsuf Stoik, negarawan, dan penulis drama Romawi, pernah menulis surat kepada ibunya dan bercerita tentang kebiasaan hidup mewah serta praktik kerakusan yang ada di seputar orang- orang kaya dan berkuasa bangsa Romawi. Mereka suka berpesta secara berlebihan dengan makanan lezat serta minuman yang benar-benar meluber dan berlebih. Kerakusan mereka menyantap hidangan yang tidak mampu ditampung oleh perut mereka akan membawa mereka ke vomitorium, tempat untuk memuntahkan makanan dari perut mereka. Setelah perut kosong, mereka segera kembali menyantap hidangan-hidangan itu hingga tak tertampung lagi, dan vomitorium adalah penyelesaian untuk bisa kembali meneruskan pesta tersebut. Secara satiris Senecca mengomentari praktik kerakusan ini dengan berkata: “Mereka makan yang begitu banyak supaya bisa muntah, dan mereka muntah supaya bisa makan terus.”

Di banyak kebudayaan, kerakusan sering menjadi tanda kesuksesan, kemakmuran, atau kemewahan. Bukan hanya orang kaya, berkuasa, dan sukses yang bisa dijangkiti kerakusan, melainkan semua orang—bahkan orang miskin dan menderita sekali pun—bisa dikuasai dan terjebak dalam kerakusan ini. Bukan hanya pada makanan, melainkan juga pada hal-hal lain dalam kehidupan. Karena itu tradisi iman Kristen menggolongkan kerakusan, gluttony, sebagai satu dari tujuh dosa yang paling mematikan. Seven capital sins/seven deathly sins. Enam dosa yang lain adalah: kesombongan, kemarahan, iri hati, keserakahan, nafsu berlebihan, dan kemalasan spiritual. Mengapa disebut sebagai capital sins? Meskipun ketujuh dosa ini sepertinya tidak terlalu berbahaya, tetapi ketujuh dosa inilah yang menurunkan dosa-dosa lainnya. Ada perintah: jangan membunuh, tapi Yesus berkata: jangan engkau marah, karena jika engkau marah engkau bisa membunuh. Kemarahan yang kelihatannya tidak terlalu berbahaya bisa menjadi penyebab terjadinya pembunuhan, dosa besar yang bisa jadi tidak terampunkan.

Dosa itu saling bertumpuk dan berhubungan. Gabungan antara kerakusan, sikap tidak menghargai pemeliharaan Allah, dan ketidakpuasan terhadap kondisi yang dialami oleh orang-orang Israel di atas, adalah dosa yang disebut sebagai toxic negativity. Ketika seseorang melakukan dosa kerakusan, dosa itu bisa menyebar seperti virus kepada seluruh anggota keluarganya. Dan akhirnya semua terkena virus kerakusan itu. Demikian juga dalam kehidupan kita sehari-hari.
 
Jika kita banyak menuntut Tuhan dan tuntutan itu muncul dari sikap tidak hormat terhadap pemeliharaan-Nya, atau timbul dari kerakusan kita, berhati-hatilah. Justru ketika kita banyak menuntut dan Allah memenuhinya, itu bukanlah tanda bahwa kita mampu menggerakkan Allah. Ingatkan akan tragedi Kibrot- Taawa di Bilangan 11:33. Jangan- jangan Allah sedang mengirimkan ‘burung puyuh’ kepada kita dan membuat kita justru menjadi celaka. Ini merupakan pembalikan Allah. A define God comedy.

Kesadaran Hidup Cukup
Bagaimana dengan kita sekarang? Kita berurusan dengan manusia yang sama-sama berdosa, yang sama-sama dicintai dan dipelihara oleh Allah. Persoalan dosa bersifat universal. Ia merusak manusia secara sama di dalam situasi-situasi yang berbeda. Betapa banyaknya godaan untuk bersungut-sungut dan berkeluh kesah di masa murung pandemi ini. Betapa besar celah ketidakpuasan kita di masa sulit ini. Kita mempunyai kemungkinan besar untuk membanding-bandingkan hidup kita dengan orang lain, antara hidup kita sekarang dan hidup kita dahulu sebelum masa pandemi. Hati- hati: di situlah dosa mengintip—dosa kerakusan, dosa ketidakpuasan, dosa ketidakpercayaan akan pemeliharaan Tuhan. Tuhan sudah memelihara kita di masa sulit ini seperti Tuhan memelihara bangsa Israel dengan manna. Mungkin kita tidak puas dengan manna-manna kita dan ingin yang lebih. Namun hanya inilah tanda bahwa Tuhan mau menjaga kelangsungan hidup kita. Hidup ini tidak lebih, apalagi berkelebihan, tetapi juga tidak kurang apalagi berkekurangan. Cukup! Seperti yang Yesus ajarkan dengan berdoa: berilah kepada kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya. Maka kesadaran pada hidup cukup, hidup ugahari, yang hilang pada umat Israel ini janganlah sampai terjadi pada kita. Mereka berdosa karena menilai Allah berdasarkan kondisi yang naik turun, mereka menilai kesetiaan Allah juga naik turun, karena situasi hidup mereka yang naik turun. Di titik itulah dosa mendapatkan pupuk untuk bertumbuh. Namun sebaliknya, iman yang sehat menilai situasi yang naik turun dengan kesetiaan Allah yang konstan.
 
Hal ini bukan soal makan saja, melainkan juga soal kerakusan. Soal merasa tidak pernah puas. Hal ini berlaku untuk keseluruhan hidup kita, tetapi dengan itu kita dapat berkata: Tuhan, hidup kami sekarang memang tidak sebaik yang kami inginkan, tetapi izinkanlah kami mengatakan bahwa dengan kesetiaan-Mu Engkau telah memberikan yang terbaik bagi kami, yakni cinta-Mu, dan itu cukup buat kami!

3F untuk Melawan Kerakusan
Seandainya saja orang Israel bisa belajar untuk melawan dosa kerakusan dan ketidakpercayaan ini, maka mereka bisa keluar dari permasalahan mereka tanpa menimbulkan murka Allah. Ada tiga hal yang dapat dilakukan untuk melawan kerakusan:
 
1. Fasting/puasa, melawan kerakusan dengan berpuasa. Dalam tradisiYahudi dan Kristen, berpuasa adalah menahan diri dari keinginan ber- lebih/kerakusan, mencukupkan diri dengan apa yang ada, bukan dengan yang tidak ada pada diri kita.
2. Feasting/perayaan, selebrasi merayakan kebaikan Allah karena Allah telah memelihara hidup kita. Bukan berpesta dengan menggelar hidangan mewah, melainkan meray- akan kebaikan Allah, salah satunya melalui Perjamuan Kudus. Dengan merayakannya, kita mau berkata ‘You are good’, Allah kita sungguh baik. Feasting adalah soal bersyukur bersama-sama. Mensyukuri apa yang ada.
3. Feeding/memberi makan, bukan cuma bersyukur dan mencukupkan diri, melainkan juga memberi dan berbagi dengan orang lain. Feed-ing berarti bahwa selalu ada yang bisa kita bagikan, meskipun dalam situasi yang mepet. Berbagilah. 

Ketiga kunci ini akan menjauhkan, membebaskan dan meluputkan kita dari kerakusan: bertahan, bersyukur bersama, dan berbagi.

Jangan Melayani Kerakusan
Jika pemeliharaan Tuhan perlu dihidupi oleh umat Tuhan dengan rasa puas dan rasa syukur, maka tugas yang diemban oleh para pemimpin adalah menatalayani dan mengelola spiritual 3F: fasting, feasting, and feeding—bertahan, bersyukur, dan berbagi. Para penatua yang akan melayani hendaknya tidak menjadi pemimpin yang populis, yang sekadar memenuhi keinginan orang lain, people pleaser, pemimpin yang kalah dan menyerah terhadap kerakusan- kerakusan yang tidak bertanggung jawab dalam kehidupan bergereja. Terlebih-lebih lagi menjadi pihak yang menginisiasi, bahkan menjadi pelaku kerakusan itu sendiri. Rakus terhadap keinginan, ide, prakarsa, dan kehendak. Rakus terhadap keputusan dan penguasaan. Rakus terhadap peran dalam pelayanan. Semoga Tuhan menolong dan memampukan para Penatua dalam menjalankan pelayanan mereka dan terhindar dari kerakusan.

Peneguhan dan Pelepasan Penatua Selanjutnya
Pdt. Joas melakukan pelayanan peneguhan kepada para penatua baru maupun penatua yang melanjutkan tugas kepenatuaan pada periode kedua. Para penatua baru adalah: Anto Martua C. Sihombing, Dapot Parulian Panjaitan, David Hutagalung, Joula Julita Karundeng, Keshia Narindra, R. Bambang Priantomo, dan Suzy Anne Rompas, sedangkan para penatua yang melanjutkan pelayanan ke periode 2 adalah: Pnt. Charissa Pakpahan, Pnt. Chyntia Watung, Pnt. Mahmud Nurdin Theofilus, Pnt. Lidya Melani Hardjito, dan Pnt. Shinta DT Monterie. Sedangkan Pnt. Marino Tandi Palinggi ditunda peneguhannya karena menemani orangtuanya yang sedang dalam pemulihan.
 
Setelah pelayanan peneguhan selesai, seluruh penatua yang terlibat dalam ibadah ini—baik yang baru, yang melanjutkan tugas, maupun yang telah purna tugas— bersama-sama menyanyikan pujian ‘Kupersembahkan Hidupku’ sebagai ungkapan syukur, penyerahan masa depan dan segenap rencana dalam pelayanan bagi kemuliaan Tuhan. Setelah itu secara khusus Pdt. Joas— yang mewakili segenap Majelis Jemaat dan segenap Jemaat GKI Pondok Indah—mengucapkan terima kasih atas kesetiaan para penatua yang telah purna tugas dalam melayani Tuhan dan mencintai gereja-Nya. Ia juga menyampaikan doa dan berkat kepada segenap keluarga dan pelayanan mereka agar tetap diperkenankan memuliakan Tuhan melalui pelayanan di bidang-bidang yang lain. Para penatua yang telah purna tugas dengan menggenapi 2 periode masa kepenatuaannya adalah: Pnt. Miranda Panggabean, Pnt. Ojahan Hutajulu, Pnt. Paul Tambunan, Pnt. Sujarwo Silas, dan Pnt. Yanto Sianipar. Sedangkan para penatua yang mengakhiri kepenatuaan di akhir periode 1 adalah: Pnt. Ali Rahman, dan Pnt. Martina Situmorang.

PMJ Khusus
Sorenya diadakan PMJ Khusus yang lebih banyak ditujukan sebagai ajang pisah-sambut bagi penatua yang baru bergabung maupun yang hendak meninggalkan tugas kepenatuaan mereka. PMJ khusus ini dihadiri oleh 50 orang peserta, Pendeta dan Penatua (tidak termasuk pasangan dan anggota panitia). PMJ dimulai pukul 17.00 dengan mendengarkan laporan pertanggungjawaban Panitia Bulan Budaya 2021. Bulan Budaya yang mengusung tema ‘Hidup dengan Rasa Cukup’ ini mendapat apresiasi yang baik dari segenap Majelis yang hadir, dan bahkan beberapa turut terlibat di dalamnya. Keistimewaan Bulan Budaya 2021 adalah menyuguhkan banyak hal baru yang melibatkan jemaat. Yang jelas, materinya nyata-nyata bisa diterapkan dalam kehidupan jemaat sehingga patut menjadi acuan bagi pelaksanaan aktivitas-aktivitas serupa di masa mendatang.

Selanjutnya Pnt. Caroline Rizkia Hutapea—sebagai Ketua Umum Majelis mengucapkan selamat datang kepada para penatua baru yang pertama kali mengikuti PMJ, dan juga ungkapan terima kasih kepada para penatua yang purna tugas. Selanjutnya Ketua Umum membacakan susunan kepengurusan majelis Jemaat GKI Pondok Indah beserta Badan-badan pelaksananya sebagai up-date kepada semua pihak tentang struktur organisasi kepenatuaan yang baru serta di tempat mana para penatua bertugas.

Renungan yang Tidak Merenung
Pdt. Bonnie Andreas kemudian memimpin renungan dengan menggunakan model kalimat bersambung di antara para Pendeta. Karena renungannya bukan hal yang dipersiapkan dengan serius, maka tidak terlalu dapat diulas, meski bukan berarti tidak bermakna dan tanpa pesan berarti.

Pengenalan Penatua Baru
Upaya uji tingkat pengenalan pada para penatua baru dilangsungkan melalui sebuah kuis. Peserta diminta memilih satu dari tiga pilihan yang bukan termasuk bucket penatua baru yang bersangkutan. Sekalipun kuis ini terkesan mudah, tapi karena kelihaian pembuat kuis yang menyuguhkan pilihan-pilihan yang hampir mirip satu dengan lainnya, ternyata tingkat kesulitannya tidak sesederhana yang diperkirakan semula. Dari 15 pertanyaan yang ada, banyak yang hanya benar dua jawaban, dsb. Acara ini ditutup dengan doa yang sekaligus merupakan doa makan malam untuk memberi jeda sejenak pada PMJ Khusus dengan mengambil waktu menikmati makan malam bersama isi hampers yang dikirimkan ke rumah masing-masing.

Happy Moment
Setelah makan malam selesai, Pnt. Teguh Prasetyo Budiono Esra Sihombimg (Tyo) dan Pnt. Stephanie Ann Gunawan (Fanny) yang bertindak sebagai host membuka kebersamaan ini dengan sebuah acara yang diberi judul Happy Moment. Acara ini dimulai dengan cara memilih dan menampilkan foto penatua secara acak (melalui roulette wheel) yang mengandung nama segenap penatua. Penatua yang terpilih diminta menceritakan kebahagiaan apa yang dirasakan lewat foto yang ditampilkan. Meskipun ada juga penatua yang bisa menceritakan happy moment-nya, tapi kebanyakan tidak bisa menyampaikan happy moment-nya karena berbagai alasan: ada yang tidak berada di tempat, ada yang tidak dimintai fotonya, maupun saat itu sedang bertugas.

Fakta Alkitab
Kemudian acara dilanjutkan dengan kuis mengenai apa yang tertulis/ fakta dalam Alkitab yang ditujukan bagi para pendeta yang ada, yakni Pdt. Bonnie Andreas, Pdt. Dahlia Vera Aruan, dan Pdt. Joas Adiprasetya. Pnt. Alex Sardo Cesario Saragih—sebagai calon pendeta—tidak ikut serta dalam permainan ini karena bertindak sebagai host. Seru juga mengamati jalannya acara ini. Ternyata tidak terlalu mudah bagi para pendeta untuk menjawab persoalan-persoalan yang diajukan dalam kuis ini. Mereka yang sangat menguasai filosofi, jiwa, dan pesan Alkitab, ternyata kadang-kadang terlewat memerhatikan dan mengenali hal dan fakta kecil yang ada di Alkitab. Guru Sekolah Minggu yang lebih intens ngulik Alkitab sebagai upaya untuk mendapatkan referensi dalam pengajarannya, mungkin akan lebih mudah menjawabnya. Bravo para pendeta yang secara kelakar dan lucu menunjukkan kerapuhan yang harus dipahami secara manusiawi. Bayangkan bagaimana gelinya ketika mencoba menjawab pertanyaan: Paulus cukur di mana? Namun fakta itu ada di Alkitab seperti yang tertulis dalam Kisah Para Rasul 18:18: Paulus tinggal beberapa hari lagi di Korintus. Lalu ia minta diri kepada saudara- saudara di situ, dan berlayar ke Siria, sesudah ia mencukur rambutnya di Kengkrea, karena ia telah bernazar. Priskila dan Akwila menyertai dia.

Love Letters
Acara berikutnya adalah Love Letters, yakni pembacaan ‘surat-surat cinta’ yang dikirimkan kepada para penatua yang purna tugas oleh rekan-rekan penatua yang masih aktif. Setiap penatua yang purna tugas setidaknya menerima 3 love letters dari rekan penatua/pendeta yang pernah secara intens bekerja sama dengan mereka dalam masa kepenatuaansehingga mempunyai kesan khusus dalam kebersamaan yang terbentuk. Love letters ini berisi kesan, kenangan, doa, harapan, dan pernyataan-pernyataan syukur dan dukungan karena pernah menjalani masa pelayanan bersama serta membentuk kerjasama yang saling membangun. Love letters benar-benar mengharukan dan menimbulkan kebanggaan, karena masing-masing merasa dihargai dan diperhatikan, dibangun semangat dan rasa syukurnya karena apa yang dilakukannya diapresiasi dan tidak pernah dianggap sia-sia.

Mengakhiri acara love letters yang merupakan ajang penghargaan kepada para penatua yang purna tugas, Pdt. Bonnie Andreas menyanyikan sebuah lagu perpisahan yang memberikan dorongan semangat untuk terus berkarya dan memuliakan Tuhan, yang bahkan dia sendiri tidak tahu judulnya. Pdt. Bonnie hanya biasa menyanyikan lagu yang didapat dari kampusnya ini pada setiap acara perpisahan. Sepertinya memang lagu perpisahan.

Penutup
Pnt. Kia menyampaikan sambutan penutup dengan mengucapkan selamat datang—sekali lagi— kepada para penatua baru serta apresiasinya kepada para penatua yang purna tugas. Disempatkannya mengoreksi pernyataan canda Pdt. Joas yang mengatakan bahwa tanaman ‘janda bolong’ (ron dho bolong) yang diberikan menandakan pelayanan yang bolong-bolong. Pnt. Kia menjelaskan kembali bahwa tanaman itu menyimbolkan kehidupan yang harus terus dirawat agar terus bertumbuh dan dapat mendatangkan alasan untuk bersyukur, seperti halnya hidup kita yang harus terus dirawat agar senantiasa bertumbuh dan memuliakan nama Tuhan di segala area di mana kita ditempatkan. Kita terpanggil untuk terus melangkah dalam sukacita Tuhan. We are engage together, tutupnya.•

Sujarwo