Yesus: MIlik Muslim atau Kristen?
~sebuah dialog untuk menemukan ujung pemahaman bersama dalam perbedaan~
Dialog Antar Iman
Hidup bersama dalam perbedaan sebenarnya wajar. Masalah baru timbul manakala perbedaan itu dijadikan alasan untuk tidak saling menerima dan menghargai. Masing-masing melihat dan menilai pihak lainnya dari kacamatanya sendiri lalu menyalahkan serta menolak perbedaan itu dalam hubungan dan interaksi mereka.
Demikian juga dalam kehidupan beragama. Perbedaan pemahaman dan pengertian tidak selayaknya menjadi alat untuk bertikai. Justru melalui keterbukaan dalam diskusi/ interaksi yang penuh pengertian, perbedaan tersebut bisa menjembatani pemahaman masing-masing, lalu menemukan kesamaan yang menyatukan, atau sepakat menerima perbedaan yang ada dengan tetap saling menghormati dan menghargainya.
Menyadari kondisi seperti di atas, maka Bidang Pembinaan Umum GKI Pondok Indah menggelar suatu dialog Islam-Kristen yang dikemas dalam acara Cangkrukan Antar Iman dengan tema Yesus: Milik Muslim atau Kristen? Tujuannya untuk mencari dan menemukan pemahaman tentang perbedaan itu serta menjadikannya pedoman untuk lebih menghayati iman masing-masing, sekalipun berbeda. Kegiatan yang dihelat untuk meramaikan dan merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia ini diadakan pada hari Sabtu sore, 17 Agustus 2021 yang lalu selama 2 jam, mulai pkl 16.00, dihadiri oleh 198 peserta dan dibawakan oleh Pdt. Bonnie Andreas dan Gus Aan Anshori dengan moderator Pnt. Alex Sardo Cesario Saragih.
Kepopuleran Yesus
Pdt. Bonnie Andreas memulai acara cangkrukan ini dengan menyampaikan hasil survei yang menyatakan kepopuleran Yesus sebagai wacana, bahan diskusi dan pembicaraan. Survei tersebut menunjukkan bahwa setiap 6 jam sekali muncul satu buku tentang Yesus, dan hingga saat ini ada sekitar 2 miliar buku yang diterbitkan tentang Dia. Tak terhitung diskusi dan perdebatan dengan topik atau pembahasan tentang Yesus sejak kedatangan-Nya ke dunia lebih dari 2000 tahun yang lalu. Sampai hari ini kita masih belum berhenti dan terus membicarakan-Nya.
Mendasar dalam Tradisi Kristen
Dua pemahaman dasar dalam kehidupan Kristen—khususnya GKI—adalah pemahaman Trinitas, yakni relasi antara Bapak, Anak, dan Roh Kudus, serta pemahaman tentang ketuhanan dan kemanusiaan Yesus Kristus (Dualitas). Ternyata upaya memahami ketuhanan, sekaligus kemanusiaan, kelahiran, kematian, serta kebangkitan-Nya masih sangat beragam, bahkan di dalam kekristenan itu sendiri, apalagi bila mengikutsertakan pandangan dan pemahaman agama lain.
Dualitas Yesus
Kemanusiaan Yesus: bahwa Yesus adalah manusia sepenuhnya tidak pernah diragukan dan tidak banyak diperdebatkan. Hampir semua orang menerima hal itu. Pilatus pun mendukung pemahaman kemanusiaan Yesus ketika ia mengatakan: Ecce Homo! (lihatlah manusia itu, terjemahan Vulgata). Namun bukan soal kemanusiaan Yesus yang sering kali menjadi bahan perdebatan, melainkan soal ketuhanannya.
Ketuhanan Yesus: para ahli yang berpemahaman soal ketuhanan Yesus kemudian sepakat menambahkan kata Deus (Tuhan) dalam pemahaman atas pernyataan Pilatus itu: Ecce-Deus- Homo! Siapa Yesus kemudian dipahami seperti yang dituliskan dalam Kolose 1:19-22: bahwa Dia adalah kepenuhan Allah, yang memperdamaikan— menjadi mediator—antara Allah dan manusia. Namun perdebatan lama tetap mengemuka soal Arianus yang tidak percaya akan ketuhanan Yesus: Dia memang manusia pilihan, tetapi tetap sebuah ciptaan. Paham Arianisme yang ditolak oleh gereja mainstream ini kemudian lari ke daerah Arabia dan berjumpa dengan bidat-bidat lain di sana yang secara bersama-sama memengaruhi pandangan Islam terhadap kekristenan pada awal pertumbuhannya, sehingga mempunyai konsep yang seperti saat ini. Konsili Nicea, melalui pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel, menjawab dan mematahkan pemahaman Arius ini dengan mengukuhkan serta menguatkan pengakuan soal ketuhanan Yesus dengan menyatakan bahwa Yesus adalah satu pribadi dengan dua hakikat (sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia).
Memahami Kristus
Bagaimana memahami Kristus sangatlah penting dalam meletakkan peran-Nya dalam hidup dan menghasilkan respons yang sepadan dengan pemahaman itu. Ada begitu banyak varian pandangan tentang Yesus dalam kehidupan bergereja, baik pada diri para pemimpin maupun umat. Sebagian orang memahami bahwa Yesus adalah tools untuk masuk ke surga dan mendapatkan keselamatan. Yesus adalah obat untuk segala masalah. Apa pun persoalan yang dihadapi, Yesus adalah penyelesaiannya. Jesus is the answer. Padahal kenyataannya, Yesus lebih banyak bertanya (307 kali) daripada menjawab (ada 183 pertanyaan yang hanya dijawab-Nya 3 kali saja). Yesus justru dikatakan sebagai The Great Questioner.
Mereka yang memahami Kristus hanya sebagai tools, atau yang sifatnya operatif fungsional, sering kali menganggap bahwa Yesus adalah jembatan, mirip dengan instrumen, sekadar alat untuk mendapatkan sesuatu. Jika tujuan keselamatan itu bukan dari Yesus, maka Dia akan ditinggalkan. Ini menarik. Mengapa? Karena ini memengaruhi pola pikir posesivitas kita tentang Yesus. Jika kita memandang Yesus sebagai alat untuk masuk surga , Dia akan kita pertahankan sedemikian rupa hanya karena Dia bisa membawa kita masuk surga dan mendapat keselamatan.
Apakah kekuatan iman kita kepada Yesus hanya menjadikan-Nya sebagai alat? Padahal dalam pemahaman Kristen Yesus adalah Allah sendiri yang harus kita sembah, bukan sekadar alat. Ada yang mengatakan bahwa Yesus itu sekadar jalan. Dulu ada penggambaran umum tentang manusia yang hendak datang kepada Allah, tetapi tempatnya dan tempat Allah dipisahkan oleh jurang yang amat lebar dan dalam. Lalu ada gambar salib—yang menyimbolkan Yesus—merentang di tengah jurang itu dan menghubungkannya dengan Allah. Manusia bisa melewati salib itu untuk menjumpai Allah. Jika pemahaman yang dibangun hanyalah Yesus sebagai instrumen, maka ketika manusia itu sudah berhasil menjumpai Allah, dengan sendirinya Yesus akan ditinggalkan.
Padahal di Yohanes 14:6 dikatakan: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Jadi Yesus bukanlah sekadar jalan (sarana, instrumen) toh? Jalan dan tujuannya itu ada pada Yesus. Karena itu, ketika Filipus bertanya dalam Yohanes 14:8 - “Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami,” dengan setengah jengkel Yesus menjawabnya: “Telah sekian lama Aku bersama- sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barang siapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami?”
Ada banyak orang Kristen memahami bahwa Yesus membawa keselamatan yang eksklusif, hanya diberikan kepada orang Kristen saja.
Bahkan ada yang meyakini bahwa Yesus hanya menyelamatkan sebagian saja orang-orang Kristen itu. Yang lain memahami bahwa Yesus itu inklusif, terbuka bagi semua. Dia membawa keselamatan bagi dunia, bagi semua ciptaan.
Bagaimana dengan GKI? GKI meyakini bahwa Yesus adalah Tuhan, Allah yang telah menjadi manusia. Yesus bukan sekadar alat, melainkan melalui kuasa Roh Kudus memberi kemampuan kepada kita untuk mengerjakan keselamatan itu bersama-sama dengan yang lain. Yesus tidak bisa dipahami sebagai sekadar ‘menguntungkan’, tetapi pada saat yang sama harus dipahami sebagai ‘pandu’, teladan kehidupan, dan Tuhan yang harus didengarkan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Yesus Milik Siapa?
Menjawab pertanyaan itu, jika Yesus datang dari Allah, bahkan adalah Allah itu sendiri, maka jelaslah bahwa Dia milik Allah. Orang Kristen tidak bisa bertindak dan berpikir secara eksklusif bahwa Yesus hanya milik orang Kristen. Ojo dumeh! Dan ketika Yesus dikatakan datang untuk menyelamatkan dunia (Yoh 3:16), maka Dia adalah milik dunia, milik semua ciptaan yang Allah tempatkan di dunia. Yesus tidak saja menyelamatkan orang Kristen, tetapi juga menjadi rahmat bagi semua makhluk. Karena itu GKI memahami tugas dan peran- Nya dalam karya keselamatan Allah untuk memperjuangkan kedamaian, keadilan, dan keutuhan ciptaan.
Dalam sebuah kesempatan berbicara dengan Phontini (perempuan Samaria di Sumur Yakub) dan memberikan pencerahan kepadanya tentang kehidupannya ke depan, Yesus menunjukkan bahwa Dia adalah milik semua. Yesus menerangi Tanah Samaria, tanah kafir yang dipenuhi oleh orang-orang berdosa. Dia juga menjadi terang dan penyelamat bagi orang-orang dari daerah jauh, Tirus dan Sidon, yang mencari-Nya untuk mendengarkan pengajaran-Nya. Bahkan Yesus menjadi terang dan penyelamat bagi mereka yang tidak mengenal-Nya (Kis 17:23).
Segala upaya yang menjadikan Yesus eksklusif hanya akan mengerdilkan/ menyempitkan/menghancurkan besar dan dalamnya cinta-Nya pada dunia, keluar dari hakikat Allah yang menjadi penyelamat bagi semua (eksklusif). Dalam Kolose 1:17 dikatakan: “…segala sesuatu ada di dalam Dia.” Artinya alam semesta ini dirangkul dan direngkuh oleh Yesus sekaligus, alam semesta ini milik Yesus. Sekali lagi mengklaim Yesus secara eksklusif hanya sebagai milik orang Kristen benar-benar mendegradasi hakikat terdalam Allah bagi semesta, hakikat Yesus sebagai pemilik semesta (inklusif).
Predestinasi
Banyak orang yang tanpa sengaja membatasi kuasa kasih Allah kepada semesta ketika berbicara tentang predestinasi. Keselamatan besar yang dari Allah melalui Yesus Kristus itu hanya diperuntukkan bagi sekian ribu manusia yang akan masuk ke surga, sedangkan menurut pemegang paham predestinasi ini, tentang siapa yang masuk surga dan tidak masuk surga sudah diatur dan ditetapkan dari awal. Inilah akibat cara pemahaman letterlijk yang tidak penuh terhadap Amsal 16:4 tentang siapa yang ditakdirkan akan mendapat celaka. Sebaik apa pun kehidupan seseorang, jika ia tidak ada dalam catatan di Buku Allah yang telah ditetapkan sejak semula itu, maka ia akan dikirim ke neraka. Jika begitu, betapa kejam dan tidak adilnya Allah dilihat dari sudut pandang orang- orang yang tidak digolongkan dalam jumlah tadi.
Predestinasi seyogyanya tidak dipahami dalam hitungan orang, tetapi esensinya adalah bahwa Allahlah yang punya hak prerogatif. Mengenai siapa yang akan atau tidak diselamatkan sepenuhnya merupakan hak prerogatif Allah. Namun melalui Yesus Kristus, Allah selebar-lebarnya membuka pintu ruang keselamatan untuk mengalami perjumpaan dengan Yesus dan mendapatkan keselamatan. Bagi mereka yang mau percaya bahwa Yesus adalah Juru Selamatnya, serta mau melakukan perintah dan kehendak Allah dalam hidupnya, maka kepadanya akan diberikan kehidupan yang abadi dalam persekutuan yang benar dengan Allah Tritunggal.
Rancangan Allah adalah kebaikan dan bukan rancangan kecelakaan.
Persepsi Klasik Islam Terhadap Kekristenan
Gus Aan membuka sesinya dengan menyatakan bahwa Islam punya kristologi sendiri yang berhadap-hadapan dengan kristologi Trinitarian. Melalui upayanya untuk lebih memahami kristologi, baik Islam maupun Kristen, Gus Aan pada akhirnya menemukan titik pandang mengapa Islam secara mainsteam sangat sensitif dengan Yesus dalam konsep Trinitarian itu.
Menurut data PGI, dari tahun 1998- 2015 tercatat lebih dari 1000 gereja yang dibakar. Tentunya pembakarnya juga bukan orang yang KTP-nya beragama Kristen. Data ini sungguh mengerikan bila dipakai sebagai potret kehidupan bersama dalam perbedaan. Mengapa bisa terjadi begini? Hal inilah yang mudah-mudahan bisa ditemukan dalam pembahasan ini.
Islam lahir sekitar 700 tahun setelah kekristenan establish. Maka sebagai varian baru yang ingin meraup pangsa pasar, Islam juga mau tidak mau menapaki gagasan agama-agama lain. Cara agama Yahudi ‘mengudeta’ agama sebelum Yahudi sangatlah ‘segregatif’: aku yang paling benar, dan kamu sesat. Ia selalu menempatkan pada dirinya sendiri (yang diikuti juga oleh Islam) perasaan bias (identitas tertentu lebih baik dari yang lain): kalau kamu ber- Islam maka identitasmu lebih tinggi daripada agama lain.
Islam mengakui dirinya sebagai agama yang paling benar dan mengklaim sebagai penyempurna agama-agama sebelumnya. Karena itu ia selalu menggaungkan sebuah rasionalitas yang menjadi bagian dari ajarannya: Oleh karena Islam sudah hadir, maka semua agama sebelumnya, termasuk para pemeluknya, harusnya masuk Islam. Begitulah cara pandang klasik sampai sekarang.
Jantung/fondasi Islam yang menyalahpahami kekristenan, terdapat dalam kristologi Islam. Dalam Quran, peran dan keberadaan Yesus (Isa) sangatlah penting. Namanya disebut hingga lebih dari 25 kali dalam Quran. Kelahiran dan kematian-Nya diapresiasi dalam Quran sebagai/ berupa ucapan salam. Dan dalam Quran, Dia disebut Mesias/Almasih (yang diurapi).
Upaya untuk bisa lebih memahami konstruksi ketuhanan dalam kekristenan dilakukan Gus Aan agar tidak terus menerus menyalahpahami kekristenan tanpa bekal pengetahuan yang memadai atau sesuai dengan yang dipahami orang Kristen.
Menemukan Yesus Kita akan dapat dialami dan ditemui jika Yesus ditempatkan sebagai Tujuan, bukan sekadar sebagai cara. Jika meletakkan Yesus sebagai cara, maka kita bisa akan terus berbeda. Arian berbeda dengan Trinitarian, dan itu tidak bisa dibungkam. Meletakkan Yesus sebagai Tujuan adalah bagaimana kita dapat menindakkan hal-hal yang dicontohkan Yesus sebagai landasan atau pedoman jiwa kita. Seperti terkait sikap yang ‘berani berkorban demi menebus kesengsaraan orang agar menjadi lebih bahagia’. Apakah dilakukan oleh orang Islam, orang Yahudi, orang Nasionalis, atau orang Komunis, jika seseorang berani berkorban supaya orang lain bisa lebih bahagia, bukankah itu menunjukkan bahwa ia pengikut Yesus, apakah ia bergereja atau tidak.