Hoaks Medis



Baru-baru ini, tanggal 13 Oktober yang lalu, Badan-POM mengumumkan ada 53 herbal, jamu, dan suplemen yang mengandung bahan kimia obat (BKO). Sebagian berbahaya bagi kesehatan karena mengandung logam berat dalam kosmetik yang berbahaya bagi kesehatan, sebagian lagi tidak menyehatkan kalau dikonsumsi untuk waktu lama. Apakah ini tergolong hoaks juga? Masyarakat perlu tahu.

 

Jamu yang dicampur obat sudah lama ada di kita. Cilacap tempatnya. Kalau hanya dicampur obat analgetik pereda nyeri, tentu tidak seburuk kalau dicampurkan obat golongan corticosteroid, yang betul bikin badan enteng, tapi berbahaya buat pengidap diabetik, hipertensi, selain mengganggu sistem hormonal tubuh bila dikonsumsi untuk waktu lama. Kita tahu bahwa jamu pegal linu di sepanjang pantai utara Jawa banyak dicampur obat. Kasihan, kendati tidak diabetik dan tidak hipertensi, tapi minum corticosteroid untuk waktu lama bikin tulang keropos. Buat yang punya masalah jantung, mungkin bisa terganggu.

Kasus di atas mungkin bukan hoaks, melainkan penipuan, jamu berkedok obat, untuk tujuan bisnis, karena khasiatnya langsung tokcer, secepat pedas makan cabai. Bagaimana kalau hoaks medis? Cara cerdas menghadapi hal ini adalah dengan meyakini bahwa tidak ada jamu, herbal dan bahan alami yang berperan setokcer minum obat, karena jamu dan herbal belum sebagai obat.

Jadi kalau ada jamu yang khasiatnya tokcer, harus dicurigai dicampur obat. Begitu juga kalau bisa langsung menurunkan gula darah, tentu ada obat antidiabetiknya. Kalau langsung menurunkan hipertensi, tentu ada obat antihipertensinya.

Kasus hoaks medis tentu berbeda. Sama-sama penipuan juga, tapi tidak terbukti memberikan hasil seperti dijanjikan. Hoaks medis terbilang paling susah dilawan hanya dengan akal sehat. Tak cukup akal sehat belaka. Butuh kemampuan menalar dengan kecerdasan akal sehat medis.

Namun meski begitu, tak urung, masih saja ada sejawat dokter yang terjerat hoaks medis, dan menyebarkannya di medsos. Contohnya, yang saya dengar dan kutip dari Tik Tok sahabat Haryanto Halim. Saya mengutip tulisan permintaan maaf seorang sejawat yang menyebarkan hoaks medis ke medsos, sebagaimana terbaca di bawah ini. Mestinya lebih mampu untuk bersikap skeptis dari ilmu di sekolah dokternya dulu.

Secara umum, hoaks bisa difilter dengan sikap sebagai berikut: pastikan apakah yang ditulis itu sebuah kebenaran. Untuk bisa memastikan bahwa itu sebuah kebenaran, perlu wawasan luas selain ketajaman berlogika dan berakal sehat. Hoaks yang mengklaim diri bisa menggandakan uang misalnya.

Akal sehat kita, kalau betul bisa menggandakan uang, kenapa bukan dia sendiri yang menggandakan uangnya? Kenapa harus uang orang lain. Jadi pasti tidak benar. Pasti penipuan. Sampai di situ kita sudah bisa menyimpulkan kalau itu hoaks. Jadi tidak perlu disebarkan kepada orang lain.

Kedua, kalau benar masuk nalar, suatu informasi memang sebuah kebenaran, apakah ada gunanya untuk orang lain. Adakah manfaatnya? Kalau tidak ada manfaatnya, mestinya tidak perlu disebarkan.

Untuk hoaks medis, kalau ada informasi obat atau cara baru yang dunia medis sendiri belum punya obat dan caranya, hampir pasti informasi itu hoaks. Informasi ihwal ada obat atau cara yang bisa meluruhkan karat lemak plaque pembuluh darah koroner jantung, atau pembuluh darah lainnya, misalnya, pasti itu hoaks. Sebab kalau benar berkhasiat, temuan itu berhak mendapat Hadiah Nobel. Nyatanya kan tidak demikian.

Terhadap nalar medisnya juga, bahwa di mata medis, tidak ada yang sederhana dalam pengobatan dan penyembuhan. Untuk menemukan suatu obat yang diterima secara medis, perlu waktu puluhan tahun. Mana mungkin ditemukan seorang bocah Ponari yang mengaku mendapat wangsit batu dari langit dan mengklaim bisa menyembuhkan penyakit apa saja. Itu pasti bohongnya.

Tidak ada di dunia medis satu obat untuk menyembuhkan segala macam penyakit. Makin banyak klaim bahwa suatu obat atau bahan berkhasiat bisa menyembuhkan pelbagai penyakit, semakin besar kebohongannya.
 
Kita tahu bahwa setiap penyakit berbeda mekanisme patofisiologisnya. Mekanisme darah rendah berbeda dengan darah tinggi, maka mana mungkin ada obat yang bisa untuk mengobati darah tinggi sekaligus juga untuk mengobati darah rendah. Kasus keputihan ada empat penyebabnya, mana mungkin hanya ada satu obat untuk menyembuhkan keempat penyebabnya. Dokter yang tidak tepat mengobati keputihan jamur diberi obat parasit, atau keputihan kuman diobati dengan antijamur, gagal menyembuhkan. Apalagi hanya dengan satu obat atau bahan berkhasiat.

Semua pengobatan dan cara menyembuhkan medis selalu disertai bukti ilmiah di belakangnya. Tanpa ada bukti ilmiah untuk obat dan temuan lain, tidak bisa diterima dunia medis. Itu sebabnya ada Badan Pengawasan Obat dan Makanan di setiap negara.
 
Amerika Serikat punya FDA, badan pengawasan obat dan makanan yang menjadi acuan dunia karena berwibawa secara keilmuan.

Kasihan masyarakat kita sekarang menghadapi begitu banyak berseliweran terapi atau obat atau cara yang ditawarkan lewat medsos, atau dari mulut ke mulut, bahkan iklan dan siaran di stasiun TV, alat medis, cara terapi, atau pengobatan yang abal-abal. Kursi magnet, kasur magnit, gelang magnit, kalung laser, dan banyak
sekali yang ditawarkan, apakah sudah diterima oleh FDA, yang berarti punya dasar bukti ilmiahnya? Patokannnya, paling tidak perlu ada restu dari BPOM kita.

Kalau suatu alat kesehatan apapun, ternyata tidak memberi dampak buruk pada tubuh setelah menggunakannya, sekiranya tidak betul memberi khasiat alias bodong, kerugian pemakainya hanya bersifat ekonomis. Namun bagaimana apabila alat kesehatan berpengaruh buruk pada jantung atau otak, karena memakai listrik atau magnet. Kita tahu bahwa tubuh juga punya listrik biologi.

Atau suatu obat yang diklaim bisa menyembuhkan kanker, ternyata dicampur bahan kimia yang tidak aman. Selain merugikan dan tidak membuahkan hasil, merusak badan juga. Kerugian lain, kanker tak kunjung sembuh dan makin parah, dan hal ini menentukan nasib pasien gagal disembuhkan medis karena terlambat diobati.

Terapi dan penyembuhan alternatif dan non-medis, bukan semuanya tidak diterima pihak dunia medis. Ada terapi dan penyembuhan alternatif yang masuk daftar Complementary Alternative Medicine (CAM) oleh WHO. Namun bukan sekadar memakai tongkat yang diklaim bisa menyembuhkan semua penyakit. Bukan sandal bergerigi, bukan segala alat kesehatan yang tidak jelas bukti ilmiahnya. Alih-alih bisa diterima badan pengawas obat di negaranya, bukti ilmiahnya pun tidak ada.

Jamu, herbal, phytopharmaca itu cara alternatif penyembuhan. Namun jamu—semua jenis jamu—bukanlah obat, melainkan bahan berkhasiat yang menyehatkan. Bahan alami berkhasiat yang diperoleh dari alam, yang khasiatnya diperoleh secara turun temurun, dan jamu belum terbilang sebagai obat.

Untuk naik kelas menjadi obat, jamu atau bahan berkhasiat alami harus diidentifikasi dulu zat berkhasiat apa yang terkandung di dalamnya, lalu diisolasi hanya zat berkhasiatnya saja dengan membuang yang tidak perlu, kemudian diuji farmakologis, uji hewan, lanjut uji klinik. Setelah lulus semua uji, baru naik kelas menjadi obat.

Apabila baru lulus uji identifikasi dan mengisolasi zat berkhasiatnya saja, jamu baru naik kelas menjadi herbal, dan kalau lulus uji farmakalogis dan uji hewan, baru naik kelas menjadi herbal terstandar, dan bila sudah lulus uji klinis, baru naik kelas menjadi phytopharmaca.

Maka harus dinyatakan hoaks kalau ada jamu yang bisa menyembuhkan satu penyakit. Minum jamu tak ubahnya ibarat kita mengonsumsi sayur lodeh, atau makan rendang. Ada lebih dari sepuluh bumbu dapur dalam masakan tersebut: kunir, jahe, kapulaga, ketumbar, jinten, kemiri, salam, sereh, cengkih, lengkuas, kencur, cabe merah, asam, merica, daun jeruk, pandan, dan lainnya lagi, yang semuanya itu punya khasiat tersendiri buat tubuh. Namun semuanya itu bukanlah khusus sebagai obat. Jahe dan kencur punya khasiat antinyeri, misalnya, tapi belum bisa dipakai sebagai obat nyeri selama belum diidentifikasi apa zat berkhasiatnya, dan diisolasi lalu diuji.

Harus dipertanyakan apabila ada bahan berkhasiat, atau cara, yang dunia medis sendiri belum punya obat dan caranya, tapi mengklaim bisa menyembuhkan penyakit yang belum bisa disembuhkan medis. Apalagi kalau temuan itu tidak ada bukti ilmiahnya, tidak ada evidence based-nya.

Itu yang dalam setiap kali seminar “Sehat Itu Murah” selalu tidak lupa saya sampaikan, agar masyarakat tidak lekas percaya terhadap tawaran obat atau cara terapi atau kesembuhan. Saya ingin masyarakat perlu cerdas untuk tidak lekas percaya, perlu skeptis terhadap tawaran terapi atau penyembuhan yang tidak jelas, dan seturut akal sehat terbilang abal-abal.

Salam tidak lekas percaya!•

Dr. Handrawan Nadesul