“Sampai masa tuamu Aku tetap Dia
dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu.
Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus;
Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu.”
Yesaya 46:4
Salam Damai dalam Kasih Tuhan Yesus Kristus,
Perkenalkan, nama saya Andreas Sabat Prayogi, biasa dipanggil ‘Sabat’. Sudah 7 tahun saya melayani sebagai Pendeta di Gereja Kristen Jawa Baran Gunungkidul, D.I Yogyakarta, dan eben-haezer (sampai di sini, Tuhan masih menolong).
Gereja di mana saya melayani merupakan Gereja yang relatif pedesaan. Meski demikian, cakupan wilayah pelayanannya luas, terdiri atas 2 (dua) kecamatan dengan jumlah Pepanthan 9 (sembilan), sehingga total gedung gerejanya 10 (sepuluh): 1 (satu) Induk dan 9 (sembilan) Pepanthan. Warga jemaat tercatat total sekitar 800-an—termasuk anak dan dewasa—tetapi jumlah tersebut sebatas data statistik, karena sesungguhnya sebagian besar kaum muda tidak bergereja di sana.
Beberapa merantau ke luar kota, baik untuk sekolah, bekerja, bahkan berkeluarga dan menetap di tempat yang baru.
Situasi tersebut menyebabkan Gereja dihadiri oleh warga dewasa yang sebagian besar sudah berusia lanjut. Hal ini dibuktikan dengan persentase kehadiran dalam kegiatan gerejawi, baik dalam ibadah maupun pembinaan-pembinaan, seperti Pemahaman Alkitab, Persekutuan Doa, dan lain sebagainya. Usia warga dewasa di atas 50 tahun, dan sebagian besar didominasi kaum ibu. Situasi ini bisa dipahami karena mayoritas mata pencaharian mereka adalah bertani atau berkebun, sehingga pada musim-musim tertentu— khususnya fase tanam dan panen—sebagian menghabiskan waktu mereka di ladang. Ketika ada kegiatan gerejawi pada malam hari, mereka sudah kelelahan dan memilih untuk beristirahat.
Di sisi lain, ketertarikan kaum muda pada pertanian dan perkebunan mulai menipis. Sebagian besar memilih untuk mengadu nasib dengan bekerja di luar kota daripada melanjutkan profesi leluhur untuk merawat dan mengolah lahan pertanian keluarga yang ada.
Seiring berjalannya waktu, tradisi tersebut bergulir, sehingga tidak sedikit warga jemaat usia lanjut yang harus menyandarkan hidup mereka pada anggota keluarga yang ada di desa, baik dalam perawatan jasmani maupun iman mereka.
Pernah pada suatu pelayanan, salah seorang simbah berkata kepada saya: “Pak, wonten mriki jenengan kasuwun ngopeni tiyang-tiyang sepuh, nggih?” (Pak, di sini Anda diminta untuk melayani dan merawat orang-orang tua, ya?). Pernyataan tersebut menimbulkan keprihatinan. Kehidupan Gereja harus terus berjalan, tetapi bagaimana caranya menumbuhkan cinta dan kepedulian kaum muda pada Gereja mereka. Terlebih, bagaimana agar banyak lapangan pekerjaan dibuka, sehingga mereka tidak perlu bekerja di luar kota tetap bisa mendampingi orangtua mereka dan mendukung Gereja mereka. Pernyataan ini juga sekaligus memotivasi saya supaya melalui pelayanan saya, Gereja Tuhan mampu menghadirkan penyataan kasih setia- Nya bagi umat-Nya.
Ada juga pelayanan Bujana Dalem, yakni pelayanan Perjamuan Kudus ke rumah-rumah, khususnya bagi warga jemaat usia lanjut yang—karena kondisi fisik mereka—tidak dapat hadir dalam ibadah di gedung Gereja. Dalam setiap pelayanan ini, selalu timbul rasa haru sekaligus syukur di hati saya, karena bisa langsung menyaksikan bagaimana dengan keterbatasan fisik mereka karena faktor usia, mereka tetap teguh beriman kepada Tuhan. Bahkan, jika jadwal pelayanan tersebut—karena suatu hal harus diundur—tidak sedikit dari mereka yang ‘protes’. Mereka mengimani bahwa melalui Bujana Dalem, mereka beroleh kekuatan, kedamaian dan kepastian keselamatan dari Tuhan.
Ada suatu kisah menarik dalam pelayanan Bujana Dalem yang pernah saya alami ketika melayani salah satu warga jemaat yang sudah usia lanjut di rumah. Karena faktor kesehatan, Simbah itu harus menggunakan kursi roda. Melalui keluarga, kami mendapat info bahwa secara medis ia sudah tidak mampu lagi berjalan, baik karena faktor usia yang sudah 100 tahun lebih, maupun karena pengeroposan sendi kaki. Namun yang menarik adalah bahwa pendengaran, penglihatan dan ucapannya masih cukup baik. Setelah menerima pelayanan Bujana Dalem itu saya mengajaknya berdoa, dan ia berkata: “Pak Pendeta, kula nyuwun didongake kajenge saged mlampah malih nggih. Kajenge kula saged mlayu-mlayu, gek dhateng alas ngarit lan mikul...” (Pak Pendeta, saya mohon didoakan agar kaki saya sembuh dan saya kembali bisa berjalan, bisa berlari lagi, lalu pergi ke ladang, merumput dan memikul kayu). Sejenak saya bingung dengan permohonannya tersebut, juga setengah menahan geli mengingat ia benar-benar sudah berusia lanjut, tetapi semangatnya untuk terus bekerja dan berkarya di ladang masih luar biasa.
Demikianlah, pada akhirnya saya berefleksi bahwa menjadi tua itu pasti, tetapi tetap teguh beriman pada Tuhan adalah pilihan.
Tuhan memberkati semua orang tua di mana pun berada. Biarlah kesempatan yang Tuhan berikan, baik umur, kekuatan, kesehatan dan pekerjaan, bisa kita gunakan untuk keluhuran nama-Nya. Tetaplah setia sampai akhir.
Tuhan memberkati. Amin.•
Pdt. Andreas Sabat Prayogi, S. Si.