Mengubah Cara Memandang Sebuah Persoalan



"Changing The Way We Perceive A Problem"
Markus 10:1-16

Sering kali, ketika kita dihadapkan pada sebuah persoalan, kita tidak dapat berpikir dengan jernih. Tidak jarang juga kita memperkeruhnya. Nah, dalam bacaan hari ini, Tuhan Yesus mengajar kita bagaimana kita seharusnya meresponsnya.

Ketika Yesus sedang berada di wilayah Yudea, orang-orang Farisi mendatangi Yesus dengan “jebakan Batman”, mereka bertanya “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya?” (ayat 2). Orang Farisi pintar memilih tempat untuk bertanya. Wilayah Yudea merupakan daerah kekuasaan Herodes Antipas. Pernikahannya dengan Herodias pernah ditegur Yohanes Pembaptis. Herodes Antipas mengambil Herodias yang adalah istri salah satu saudaranya (satu bapa beda ibu). Herodias juga adalah anak dari salah satu saudara Antipas (satu bapa beda ibu). Pada waktu perayaan ulang tahun Herodes Antipas, Herodias—melalui putrinya— meminta kepala Yohanes Pembaptis. Kita dapat melihat kelicikan orang- orang Farisi dalam memasang jebakan Batman melalui pertanyaan mereka.

Nah, pada masa itu, pandangan yang paling populer adalah seorang laki-laki boleh menceraikan istrinya jika dia tidak menyukai istrinya, baik karena masakannya kurang enak, menyapunya tidak bersih, memecahkan piring, nada bicaranya tinggi. Pemikiran ini diajarkan oleh Hillel (kakek Gamaliel) yang menggunakan Ulangan 24:1, “Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab  didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya.” Ketika merespons sebuah persoalan, sering kali kita tidak memperjernih persoalan, melainkan memperkeruhnya. Kita terbiasa melihat permukaannya saja dan menolak melihat intinya. Kita tidak dapat melihat sebuah persoalan dengan jelas jika kita hanya melihat legalitasnya. Yesus menjawab mereka, “Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu” (Markus 10:15). Yesus menunjukkan bahwa masalah timbul karena kekerasan hati manusia. The hardness of the heart is the root of the problems.
 
Dengan kata lain, Musa sakit kepala melihat kedegilan hati mereka. Ia memberikan izin perceraian karena sangat terpaksa. Saya percaya bahwa Musa mengizinkan perceraian karena ia ingin melindungi kaum perempuan, sebab pada masa itu, perempuan dianggap sebagai properti suami. Jika perceraian tidak diizinkan, sedangkan suami sudah tidak lagi mencintai istrinya, maka istri tersebut akan mengalami berbagai penindasan, termasuk kekerasan fisik. Jadi akan jauh lebih baik jika mereka bercerai daripada mengalami penindasan terus-menerus.

Karena suami istri tidak memiliki cinta yang murni (genuine love), melainkan cinta yang bersifat egosentris, cinta mereka menjadi sebuah trade atau perdagangan dengan prinsip “What’s the benefit for me to love you?” (Apa untungnya bagiku untuk mencintaimu?). What is the benefit for me to marry you? (Apa untungnya bagiku untuk menikahimu?). Perhatikan perkataan Musa, “tidak menyukai lagi” artinya “when love dies”. Perceraian terjadi karena cinta sudah mati. Di dalam pernikahan yang Tuhan kehendaki, “Love is not supposed to die.”

Hidup ini adalah tentang cinta. Baik itu mencintai dengan benar, atau dengan salah. Mencintai dengan murni, atau dengan egois. Mencintai sesama manusia, pekerjaan, makanan, hobi, tanaman, binatang, atau lingkungan.

Ada yang tersandung cinta, jatuh cinta, putus cinta, sambung cinta… Anda dapat tambahkan sendiri daftarnya. Jika cinta mengalami kematian, hidup menjadi kering, tidak berarti. Atau jika manusia memiliki cinta yang salah, maka hidup menjadi disordered. Berhubung kita adalah milik Tuhan yang adalah Cinta, kita baru dapat menjadi manusia yang utuh jika kita hidup di dalam cinta-Nya.

Perhatikan bagaimana Yesus berespons. Ia tidak melihat persoalan ini dari segi legalitas. Ia mengatakan “Pada awal dunia”. Yesus mengajar kita untuk melihat sebuah persoalan dari prinsip dasarnya…. “Pada awal dunia, Allah menciptakan seorang laki- laki dan seorang perempuan.” Seorang pemimpin yang baik melihat persoalan yang dihadapinya dari sudut pandang hati Tuhan. A good leader perceive problems from the heart of God.

Jawaban Yesus, “Dari awal mula” memberikan kita sebuah prinsip dasar tentang pernikahan. Pernikahan dimulai dari sebuah cinta. Cinta Allah bagi manusia. Cinta Adam kepada Hawa, dan sebaliknya. Prinsip pernikahan adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan, masing- masing meninggalkan orangtuanya, lalu keduanya menjadi satu. Artinya, pernikahan diikat oleh genuine love. Cinta yang murni tidak akan mengalami kematian. Sekalipun meredup, dapat dihidupkan kembali.

Jika sepasang suami-istri sudah tidak lagi memegang janji nikah—tidak lagi saling mengasihi karena ego masing- masing, cinta mereka mengalami kematian. Sekalipun mereka hidup serumah, mereka sudah bercerai di hadapan Tuhan. Pernahkan Anda menyatukan dua lembar kertas dengan lem? Terus keesokan harinya, Anda coba memisahkan dua lembar kertas tersebut. Apa yang terjadi?
Mungkin Anda berhasil memisahkan kedua lembar kertas tersebut, tetapi kertas tersebut sudah tidak dalam keadaan sempurna. Perceraian pada hakikatnya mengandung arti “cut someone off from your soul”. Dengan kata lain, perceraian itu sangat menyakitkan. Karena itu, kita tidak boleh menghakimi orang yang mengalami perceraian. Seseorang yang bercerai mengalami luka yang sangat dalam. Sangat tidak pantas jika kita menambah penderitaannya dengan menghakiminya. Hati Allah adalah dasar yang terbaik untuk melihat sebuah persoalan.

Lalu bagaimana dengan pernikahan kembali? Tuhan Yesus mengatakan, “Barang siapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap istrinya itu. Dan jika si istri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah” (10:11-12). Kristus merespons kekerasan hati mereka yang mengingini perceraian untuk segala alasan, yakni karena cinta mereka telah mengalami kematian dan mereka ingin mencari cinta yang baru. Karena cinta yang bersifat egosentris, mereka mencari-cari alasan untuk bercerai demi dapat menikah kembali. Di sini Yesus membongkar apa yang ada di dalam hati manusia, yakni kekerasan hati membunuh cinta yang murni.

Jika kita melihat dari hati Allah, maka pernikahan harus diperjuangkan dan diselamatkan, bahkan dengan doa puasa. Terkadang, meskipun segala upaya sudah dilakukan, perceraian tetap saja terjadi karena pernikahan sudah dalam keadaan tidak dapat diselamatkan lagi. Jika hal ini terjadi, kita percaya ada pengampunan Tuhan terhadap kegagalan manusia. Lalu, jika seseorang menikah kembali, kita juga percaya bahwa ada kesempatan untuk pembaruan. Prinsipnya, seseorang jangan bercerai demi dapat menikahi orang lain. Jika ini dilakukannya, dia berzinah terhadap pasangannya.

Setelah persoalan perceraian, Yesus dihadapkan pada persoalan lain. “Lalu orang-orang membawa anak-anak kecil (paidion) kepada Yesus, supaya Ia menjamah mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang- orang itu” (Mrk. 10:13). Orang-orang yang membawa anak-anak kecil ini belum tentu adalah ibu-ibu, bisa juga bapa-bapa, karena dalam budaya Yahudi, bapa-bapa memiliki tanggung jawab spiritual untuk membawa anak- anak mereka kepada Tuhan. Markus menggunakan kata “paidion” (bayi hingga 12 tahun) sedangkan Lukas lebih spesifik lagi. Ia menggunakan kata “brephos” yang artinya “bayi” (Luk. 18:15) - “infants” (ESV) atau “babies” (NIV).

Murid-murid memarahi orang- orang yang membawa anak-anak kecil. Menurut mereka, orang-orang ini hanya mengganggu pekerjaan Kerajaan Allah. Bukankah kita juga sering menganggap kehadiran anak- anak sebagai “gangguan” karena berpendapat bahwa mereka tidak memiliki prestasi, tidak dapat berkontribusi. Mereka hanya hidup dalam dunia fantasi, tidak ada kreasi. Hanya bisa minum asi, tidak bernilai kecuali sebagai satu generasi. Yesus menegur murid- murid-Nya – anak-anak kecil bukan gangguan yang harus diusir, melainkan justru teladan penting bagi orang- dewasa.

Seorang petani membawa sejumlah anak anjing di dalam sebuah kotak. Melihat itu, seorang anak kecil ingin meminta satu dari petani tersebut. Namun si petani berkata, “Nak, kamu harus membayarnya.” Maka anak tersebut mengeluarkan Rp 39.000 dari sakunya, yang merupakan uang jajannya untuk seminggu sambil berkata, “Pak apakah uang ini, cukup?” Pak Petani menjawab, “Iya Nak, silakan pilih anjing yang paling kamu sukai.” Dari semua anjing itu, anak itu memilih anak anjing yang kakinya lemah dan jalannya terpincang-pincang. Petani tersebut berkata, “Nak, sebaiknya kamu tidak memilih anjing itu. Ia tidak akan dapat berlari atau berjalan seperti anjing yang lain. Dia adalah anak anjing yang paling bungsu, yang lahir dengan fisik lemah. Anak itu pun berkata, “Iya Pak, kaki saya juga cacat. Saya memilihnya dan saya ingin mengasihi dan merawatnya.”

Sekali lagi Yesus memberikan sebuah perspektif baru dalam melihat persoalan. Anak-anak kecil bukan gangguan, melainkan inspirasi. “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barang siapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya” (Mrk. 10:15). Justru, kita harus belajar dari anak kecil dalam hal hati yang murni terhadap Kerajaan Allah. Mengapa kita harus menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak bayi? Seorang anak kecil menyambut Kerajaan Allah sebagai hadiah. Anak bayi tidak menilai dirinya dari berapa banyak harta yang dimilikinya. Seorang anak bayi tidak meragukan pengasuhnya. Tan Kim Huat mengatakan, “The kingdom of God does not belong to those who think that by their own right or might they can seize it. Instead,
the kingdom belongs to people who recognize that they are powerless before God” Kerajaan Allah milik orang-orang yang lemah dan rapuh di hadapan Allah.

Seorang anak kecil memiliki iman yang bersifat totalitas. Ketika memercayai sesuatu, mereka percaya penuh. Ketika tidak memercayai sesuatu, mereka tidak percaya sama sekali. Ketika seorang anak kecil mencintai sesuatu, ia akan mencintai dengan tulus, murni dan sepenuh hati. A genuine love is ego-free. A genuine love means you love not for sake of getting anything back. It simply means you love because you choose to love. Cinta yang murni adalah dasar kehidupan. Cinta yang murnilah yang melekatkan kita pada hati Allah. Dengan cinta yang murni kita baru dapat menyambut Kerajaan Allah, yakni Kerajaan kekal. Kerajaan Allah diberikan sebagai sebuah hadiah. Bukan hasil jerih payah atau pencapaian kita.

Kita dapat melihat bahwa Petrus menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil. Salah satu peristiwa yang memperlihatkan hal tersebut adalah ketika melihat Yesus Kristus berjalan di atas air, Petrus berkata, “Tuhan, apabila engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air” (Mat. 14:28). Hanya sikap seperti anak kecil dapat mengucapkan, “Suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air.”

Dalam merespons persoalan yang dihadapkan kepada-Nya, Kristus mengajar kita untuk melihat sebuah persoalan dari prinsip dasarnya, yaitu kembali pada hati Tuhan (Back to the heart of God). Ketika orang mempertanyakan perceraian dari sudut pandang legalitas, Yesus memperlihatkan persoalan kekerasan hati manusia dan hati Allah terhadap pernikahan yang berlandaskan cinta yang murni. Ketika murid-murid menganggap anak-anak sebagai gangguan, Kristus justru menegaskan bahwa anak-anak adalah teladan penting dalam menyambut Kerajaan Allah dengan cinta yang murni. The heart of God is supposed to be the basis to perceive life-problems.

Bagaimana Anda menghubungkan hati Anda kepada hati Allah agar dapat melihat inti sebuah persoalan?

“Tuhan, mampukan kami untuk menghubungkan hati kami pada hati-Mu sehingga kami dapat melihat persoalan-persoalan yang kami hadapi dalam cahaya baru.”

***

Pdt. Lan Yong Xing