"Menaklukkan Kesedihan Anda"
A_PENERIMAAN.
Terimalah kenyataan bahwa kematian telah tiba. Jangan coba-coba mengabaikannya. Jangan coba-coba menghindarinya. Dan jangan berpura-pura bahwa hal itu tidak terjadi. Memang baik mengingat masa lalu secara kreatif, tetapi janganlah melakukannya dalam arti bahwa Anda tidak mau menerima kenyataan bahwa seseorang yang dikasihi telah meninggal.
B —ALKITAB.
Firman Tuhan sudah tahan uji dan sudah menolong begitu banyak orang. Alasannya adalah bahwa ini adalah Firman Tuhan. Dari sekian banyak hal, Allah adalah Penolong. Melalui nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya, Dia telah menuliskan kata- kata yang dapat menghibur. Jadi pakailah Alkitab Anda. Penuhilah diri Anda dengan Kitab Suci. Beberapa orang merasa bahwa membaca satu atau dua ayat tidaklah begitu menolong ketimbang membaca bagian yang lebih panjang. Mungkin hal ini benar. Misalnya, ketika Anda mendapat infeksi, Anda harus memasukkan antibiotik ke dalam aliran darah Anda. Anda harus terus minum obat, bukan hanya selama satu atau dua hari, melainkan untuk waktu lama. Dan begitulah, antibiotik bagi penyakit dukacita adalah dosis besar Firman Tuhan yang sering direnungkan.
C—BERKOMUNIKASI DENGAN TUHAN.
Komunikasi ini merupakan kebutuhan, penawar terbesar bagi orang yang berduka dan yang menginginkan bimbingan dan arahan. Orang seperti ini tidak mungkin
salah berbicara kepada Tuhan, berkomunikasi dengan-Nya, dan berdoa kepada-Nya. Berbicaralah kepada-Nya seperti Anda berbicara dengan orang lain sebab Dia peduli kepada Anda.
D—TUNJUKKAN KESEDIHAN ANDA.
Kita perlu melampiaskan emosi kita. Menangis adalah salah satu cara kita melakukannya. Saya telah mengenal orang-orang yang tidak pernah menangis dan salah satunya menjadi sangat sakit karena hal ini. Ungkapkanlah emosi Anda, ungkapkanlah dukacita Anda. Menangislah. Yesus menangis. Saat kita menangis, kita meredakan ketegangan batin, sehingga tidak membesar dan kelak meledak dengan kekuatan yang menghancurkan.
E—EKSPRESIKAN DIRIMU DALAM AKTIVITAS.
Bantulah seseorang. Membantu orang lain adalah salah satu cara untuk mengatasi situasi di dalam diri Anda. Anda akan menjadi berkat bagi orang lain dan Anda akan membantu diri Anda sendiri. Anda akan menarik diri Anda keluar dari batas-batas situasi Anda sendiri. Nasihat saya adalah: LIBATKAN DIRI ANDA! Sangat keliru bila orang-orang menganggap bahwa orang yang mereka kasihi sudah mati ketika ia meninggal. Lagi pula, sangat keliru membayangkan kekasih ini di dalam peti, sebab ia tidak berada di sana; hanya tubuh di mana ia hidup selama sekian tahun yang berada di sana. Lebih baik kita mengingat kekasih tersebut seperti kita mengenalnya, hal-hal yang telah dilakukannya. Saat seseorang meninggal, “dirinya yang sebenarnya” pergi untuk berada bersama Tuhan dan tubuhnya yang lama ditinggalkan.
SAAT TUHAN DATANG KE RUMAH ANDA
Tahukah Anda, bahwa ada sangat sedikit hal yang menguji iman seorang Kristen seperti kehilangan orang yang sangat dicintainya. Sangat penting bahwa ketika kematian terjadi, keluarga sampai pada titik di mana mereka cukup siap untuk berkabung. Di dalam situasi di mana anggota- anggota keluarga, termasuk anak-anak, sudah mampu berbicara tentang kematian yang akan datang, apabila kematian itu terjadi, keluarga itu bisa menyikapinya dengan bijak.
Anak-anak perlu diajari bahwa kematian bukanlah peristiwa mengerikan yang harus ditakuti, tetapi lebih merupakan proses alami. Anak-anak harus mendengar kematian dibicarakan secara alami dan mudah, tanpa banyak emosi yang tidak semestinya. Bila Tuhan datang ke rumah Anda, pengalaman sedih dapat berubah menjadi kemenangan yang menyenangkan jika anggota-anggota keluarga memiliki keyakinan kuat bahwa orang yang mereka kasihi hidup dalam keadaan yang benar-benar terlepas dari batasan-batasan alami dan fisik.
Jika kematian datang ke sebuah rumah di mana hal tersebut sudah dibicarakan, anak-anak tidak akan tercengang. Anggota-anggota keluarga mampu menerima pukulan itu dengan kurang menyakitkan. Perasaan sakit karena kematian tersebut jauh lebih ringan bagi keluarga yang tidak terus memikirkannya dengan sedih, tetapi dengan gembira kembali beraktivitas. Seminggu yang lalu saya berada di rumah seorang sahabat yang telah kehilangan seorang kekasih. Pada hari Minggunya, keluarga itu pergi ke gereja. Memang sulit, tetapi hal ini tidak saja memperkuat iman mereka, tetapi juga merupakan berkat yang luar biasa bagi orang-orang lain yang melihat mereka di gereja.
Kita tidak boleh gagal mendidik anggota keluarga kita dalam iman yang mampu menghadapi kematian tanpa rasa takut, iman yang mengubah kematian menjadi kemenangan, bahkan ketika kematian memanggil orang yang sangat dikasihi.
Saya pernah membaca sebuah artikel tentang bagaimana melatih seni kematian. Awalnya saya pikir bahwa pokok bahasan itu sangat tidak biasa, tetapi ketika saya membaca artikel tersebut, saya sampai pada kesimpulan bahwa si penulis memiliki beberapa hal yang sangat baik untuk dikatakan, Ada seni kematian. Ada hal-hal yang harus dilakukan orang untuk mempersiapkannya. Jika seseorang mempersiapkannya dengan baik, persiapan itu tidak saja akan membantunya, tetapi juga akan membantu mempersiapkan orang-orang lain.
Kesedihan adalah hal yang biasa. Hal itu lumrah bagi seluruh umat manusia. Kita tidak bisa menghindarinya. Kita harus hidup dengannya. Sebuah perumpamaan kuno bercerita tentang seorang perempuan yang kehilangan putra tunggalnya. Ia sangat sedih dan pergi dari rumah ke rumah untuk meminta obat yang dapat meringankan penderitaannya. Akhirnya ia menemui seorang penasihat, seorang penasihat spiritual. Orang ini berkata bahwa ia bisa menghiburnya dengan beberapa butir biji sesawi jika perempuan itu mau membawakan biji-biji itu kepadanya.
Satu-satunya ketentuan adalah bahwa biji sesawi tersebut harus berasal dari rumah di mana tidak ada yang kehilangan anak, suami, orangtua, atau teman baik. Jadi perempuan itu pergi dari rumah ke rumah. Dalam setiap kasus ia menemukan bahwa beberapa orang yang dikasihi telah tiada. Ia pergi ke seluruh lingkungan, dan ibu yang dilanda kesedihan itu mulai mengerti bahwa kesedihannya tidak unik. “Alangkah egoisnya aku dalam kesedihanku,” katanya kepada dirinya sendiri. Lalu setelah menerima kenyataan itu, ia mencatat bahwa kematian adalah hal yang biasa bagi semua orang. Dalam kesedihan, kitalah masalah sampai kita menerima kenyataan dan menyerahkan keegoisan kita yang membuat kita tetap dalam kegelapan.
Ada perbedaan antara menerima kehilangan dan memiliki penyesalan mendalam atas kehilangan tersebut. Kita harus memperlakukan kehilangan bukan dengan santai dan bukan tanpa rasa sakit. Kita harus memperlakukannya dengan sangat hati-hati. Kita harus menerima kematian, dan saat kita menerimanya, kita akan beristirahat dalam pelukan Tuhan. Mungkin kehilangan itu akan terus-menerus segar dalam ingatan, tetapi kehilangan itu dapat diterima.
Salah satu teman baik saya kehilangan seorang putra dalam sebuah kecelakaan. Ia melewati penderitaan itu dengan anggun dan penerimaan. Dengan bijaksana ia berkata, “Ada kalanya peristiwa itu menusukku seperti pisau tajam. Hal itu mungkin terjadi pada hari yang cerah di hutan, atau pada saat aku bekerja di kantorku.” Kita semua tahu sesuatu tentang pengalaman itu. Kita juga tahu sesuatu tentang kasih Allah yang besar. Saya mengatakan sesuatu tentang hal itu, dan kasihlah yang mengikat kita dengan orang yang kita cintai, bahkan ketika ia telah meninggal. Suatu memori tentang hubungan yang sangat berharga, dan ingatan itu kembali menghantui kita dalam bentuk kenangan, kadang-kadang ketika kita tidak mengharapkannya. Bukan untuk menghantui kita, tetapi untuk mengingatkan kita, seperti yang dikatakan Tennyson, “Lebih baik pernah mencintai dan kehilangan daripada sama sekali tidak pernah mencintai.” Dan di dalam semua itu, di awan hitam keraguan, saat kesuraman menyelimuti kabut dan awan rendah menutupi puncak gunung, TUHAN ADA.
Dr. Leslie D. Weatherhead dari London mengatakan bahwa pada suatu kesempatan ia duduk di samping tempat tidur seorang pria yang sekarat dan memegang tangannya. Ternyata tanpa sadar ia memegang tangan pria itu dengan sangat erat, dan pasien itu mengatakan hal yang tidak biasa, “Jangan tarik saya kembali. Kelihatannya sangat indah di sana.”
Pada kesempatan lain, seorang yang sekarat berkata, “Jika saya memiliki kekuatan untuk memegang pena, saya akan menulis betapa mudah dan menyenangkannya untuk mati.”
Jika seseorang meninggal, apakah ia akan hidup lagi? Jawabannya YA, sangat pasti, YA.
SEPERTI APAKAH SURGA ITU?
“Where Do They Go?” (Ke Mana Mereka Pergi) adalah cerita menyenangkan yang diadaptasi oleh James E. Smith.
Kutu-kutu air hidup bahagia bersama, tetapi terkadang salah satu dari mereka merayap menaiki batang bunga bakung dan tidak pernah terlihat lagi. Hal ini mencemaskan kutu-kutu itu dan mereka mulai bertanya, “Ke mana mereka pergi ketika mereka menghilang di batang bunga bakung?” Jadi mereka memutuskan untuk mengadakan pertemuan dan menetapkan bahwa pada saat seekor kutu terdorong untuk memanjat batang bunga bakung, si pemanjat harus kembali dan
memberitahukan mereka apa yang dilihatnya.
Benar saja, suatu hari salah satu dari mereka mendapat dorongan itu. Perlahan-lahan ia merayap sampai kepalanya menyentuh daun teratai. Ini membutuhkan semua kekuatan yang dimilikinya, tetapi akhirnya ia mendorong dirinya ke tepi daun dan beristirahat. Untuk pertama kalinya ia merasakan sinar matahari yang hangat menyinari tubuhnya. Dengan segera ia tertidur. Ia tidak tahu berapa lama ia tidur, tetapi ketika ia bangun ia merasa semua kering dan kaku, karena matahari telah membakar kulitnya yang lembut sampai mulai pecah-pecah. Saat ia meregangkan dirinya, mantel luarnya jatuh. Tiba-tiba ia merasa besar dan bersih dan bebas. Ia melihat dirinya sendiri dan mengedipkan matanya, karena ia bukan lagi kutu air tetapi capung hijau yang cantik. Segera ia mengepakkan sayapnya dan naik ke langit. Namun tiba-tiba ia teringat akan janjinya untuk kembali dan memberi tahu kutu-kutu lainnya tentang dunia baru di atas air. Ia berkata kepada dirinya sendiri, “Aku tidak bisa kembali ke lumpur lagi. Apa yang akan kulakukan?” Saat ia terbang berkeliling dan melihat lebih banyak dunia indah di sekitar kolam, ia mengambil keputusan. “Tidak, aku tidak bisa kembali ke kutu-kutu itu. Namun sesungguhnya ini bukan masalah. Satu per satu mereka juga akan menaiki batang bunga bakung, dan ketika mereka melihat dunia baru yang besar dan baru ini, mereka akan tahu mengapa aku tidak bisa kembali.”
Saya percaya bahwa ketika seseorang meninggal, ia pergi ke surga, Sekarang pernyataan itu membutuhkan beberapa kualifikasi. Orang itu harus seorang percaya, dan surga bukanlah apa yang saya sebut sebagai surga tertinggi. Saya tidak percaya pada jiwa yang tidur, meskipun banyak rekan saya memercayainya. Saya percaya bahwa ketika seorang Kristen meninggal, ia pergi ke hadirat Tuhan.
Jika hal ini benar, maka pikiran tentang kematianlah yang menyedihkan, bukan
kematian itu sendiri, karena kematian itu lembut.
Sebagai jawaban atas pertanyaan, Dimanakah orang mati sekarang? Saya merasa bahwa orang mati telah pergi ke keadaan sadar SEKARANG (Luk. 16:26; 16:19-23). Paulus berkata bahwa beralih dari tubuh bagi orang Kristen berarti menetap bersama Tuhan. Pada saat kematian, jiwa orang Kristen masuk ke hadirat Tuhan, tetapi bukan surga itu sendiri. Ada keadaan setelah kematian; ada kondisi setelah penghakiman.
Doktrin Api Penyucian, seperti yang diyakini sebagian orang, tidak alkitabiah. Saya tidak percaya pada tempat pembuangan atau istilah lain yang memiliki arti serupa. Dalam Luk 23:39-43, pencuri yang bertobat diberi tahu, HARI INI kamu akan bersama-Ku.
Kita akan memiliki tubuh baru (II Kor. 5:2). Kita akan mempertahankan indra kita meskipun tubuh kita berada di dalam kubur. Kita akan melihat seolah-olah kita memiliki mata dan mendengar seolah-olah kita memiliki telinga. Dengan bodohnya kita berpikir bahwa mata itu melihat. Mata tidak melihat. Jiwalah yang melihat, dan menggunakan mata sebagai jendela. Telinga manusia tidak mendengar. Telinga hanyalah alat fisik yang dapat digunakan jiwa saat mengenakan tubuh fisik. Namun jiwa bisa mendengar tanpa telinga. Kita tahu bahwa lidah berbicara, tetapi bukan lidah yang berbicara, melainkan orang yang berada di balik lidah. Organ- organ tanah liat dalam tubuh manusia ini tidak memiliki perasaan ketika tuan mereka, sang jiwa, pergi.
Di surga tidak akan ada pernikahan (Mark. 12:25). Wahyu 21:4 memberi tahu kita bahwa tidak akan ada perkabungan. I Kor. 13:12 menunjukkan bahwa kita akan mengenal seperti sekarang kita dikenal. Kita benar-benar adalah orang yang sama, tetapi lebih dari itu. Yang sakit akan sembuh, pengemis akan kaya, mereka yang kesakitan akan bahagia dan terhibur.
Jenis kehidupan apa yang ada di sana? Tidak ada keberadaan yang ditangguhkan. Akan ada kondisi pertumbuhan, pengayaan, dan pelayanan yang tak terbatas. Kita akan memuji Dia.
Akankah ada tingkatan di surga? Ya, saya percaya bahwa Alkitab mengajarkan bahwa akan ada tingkatan (Rom. 2:6). Ini juga jelas benar dengan menabur sedikit atau banyak (II Kor. 9:6).
MATI ADALAH KEUNTUNGAN!
Dalam Mazmur 39:4, kita membaca tentang ujung jalan. Dikatakan di sana, “Ya Tuhan, beritahukanlah kepadaku ajalku, dan apa batas umurku.” Kita semua memiliki periode waktu ini yang menjulang di depan kita, karena telah ditetapkan bagi seorang manusia untuk mati satu kali. Saat akhir hayat kita tiba, kita tidak perlu takut. Dwight Moody berkata di ranjang kematiannya, “Ini mulia, ini sungguh mulia. Bumi sedang surut, surga terbuka, dan Tuhan memanggilku.” Melewati ujung jalan ini adalah kehidupan.
Ketika saya berada di Haiti beberapa tahun yang lalu, suatu hari penerjemah saya dan saya pergi dengan pendeta pribumi dalam sebuah jip bobrok dan menyusuri jalan yang mereka sebut jalan raya. Jalan itu tidak lebih dari jalan tanah yang agak beraspal di beberapa tempat. Akhirnya, jalan tersebut berubah menjadi hanya jalan setapak dan menyempit menjadi hanya dua jalur kecil, dengan semak belukar yang tumbuh sangat tinggi di kedua sisinya. Anda tidak bisa mengeluarkan tangan atau Anda akan tergores. Kita harus tetap berada di dalam jip.
Saya bertanya, “Ke mana Anda akan membawa saya?” Tentu saja, mereka tidak mengerti bahasa Inggris tetapi hanya tersenyum kepada saya. Saya pikir ini mungkin perjalanan terakhir saya. Kami melanjutkan lebih jauh. Akhirnya kami sampai di tempat kosong untuk memutar kendaraan. Mereka melompat keluar saat kami berhenti, tetapi saya ingin tetap berada di jip. Dalam bahasa Inggris patah-patah mereka berkata, “Ayo, ayo! Kami ingin menunjukkan sesuatu kepada Anda.” Jadi saya mengikuti mereka ke semak-semak. Di depan kami ada dinding tanaman merambat dan lilitan yang telah ditebang dan dicabut. Kemudian saya melihat jalan sempit yang jarang dilalui. “Ayo!” Saya pergi. Dan di sana, di depan mata saya, terbentang lembah yang belum pernah saya lihat. Pohon buah-buahan yang indah, burung-burung yang bernyanyi—sebuah surga di antah berantah. Keindahan itu tidak bisa dipercaya! Mereka memetik sebuah jeruk besar dan memberikannya
kepada saya.
Seandainya saya tinggal di jip bobrok itu, saya tidak akan pernah melihat hal-hal yang menunggu saya. Kita mungkin membandingkan tubuh duniawi kita dengan jip (model yang berbeda, karena jelas bahwa kita dilahirkan di tahun yang berbeda). Betapa bodohnya tinggal di jip bobrok itu ketika pemandangan yang tidak diimpikan menunggu kita jika kita hanya memercayai Pemandu kita.
Jadi, mati bukanlah kematian. Bukan kematian untuk berpindah dari yang lama ke yang baru. Ibaratnya, di akhir jalan ada awal jalan baru yang akan dijelajahi jiwa kita, dengan tangan Tuhan memegang tangan kita.
MATI ADALAH KEUNTUNGAN!
Amin.
*) Terjemahan dari “To Die is Gain” karya Neal Carlson. Kiriman Ibu Susana Zakaria