‘TOGETHERNESS BALI TOUR’
~sebuah apresiasi tugas dan pengabdian hingga purnabakti~
Apresiasi Purna Bakti
Kami kembali berkesempatan mengikuti darmawisata Pengurus Sekolah Tirtamarta BPK Penabur yang merupakan acara kebersamaan pengurus, terutama yang telah purnabakti dan yang telah membaktikan diri pada satu periode yang lalu. Acara ini diikuti oleh 10 orang, 4 pasang suami istri dan 2 ibu perkasa yang menginisiasi acara ini. Wisata yang dilaksanakan pada tanggal 1-3 Desember2021 ini memilih destinasi Pulau Dewata, Bali.
Mengingat usia dan kekuatan para peserta, maka acara ini memilih destinasi wisata yang tidak terlalu ekstrem dan tidak membutuhkan upaya keras untuk menjelajahinya. Jadi, secara umum acara ini diisi dengan kebersamaan dan keriangan sederhana yang cukup membawa sukacita bagi seluruh anggota rombongan.
Babi Guling Terbaik
Setiba di Bali sekitar pk. 10.00 WITA, setelah drop barang di Hotel Anvaya, Kuta—tempat rombongan menginap—perjalanan dilanjutkan dengan menempuh jarak 42 km ke Desa Beng, Gianyar, untuk makan siang di Warung Babi Guling Pande Egi, rumah makan babi guling terbaik di Bali (katanya). Kendati citarasanya memang benar-benar top, tetapi pemilik dan sekaligus pendirinya— Pande Anggia (anak Pande Egi)— tetap menyebutnya ‘warung’, karena makanan bercitarasa prima yang disuguhkannya memang dibandrol dengan harga terjangkau, atau tergolong murah. Citra babi guling sebagai makanan emperan sirna dengan suasana persawahan yang sengaja didesain untuk tujuan itu. Meskipun kondisi masih terpengaruh pandemi, tetapi pengunjung warung tergolong ramai karena sudah terjadi rebound dari menyusutnya bisnis akibat pandemi. Kondisi memang belum kembali ke normal, tetapi apa yang dicapai sudah bisa dikatakan baik sekali. Jika pada masa normal Warung Babi Guling Pande Egi mampu menjual 5 ekor babi guling per hari, maka sekarang 3 ekor per hari sudah sangat layak disyukuri.
Keagungan dalam Kelengangan
Sepertinya dalam beberapa hal cuaca tidak berpihak kepada rombongan. Meskipun hujan menambah keasyikan suasana makan siang, tetapi ketika rombongan hendak bergerak ke destinasi wisata tujuan, hujan tetap tidak berhenti. Ada sedikit perubahan itinerary karena hujan itu. Usai makan siang yang eksotik, rombongan berangkat menempuh perjalanan sejauh 40 km menuju ke destinasi wisata Tanah Lot di Tabanan. Bersyukur sesampainya di sana cuaca membaik meskipun tetap diliputi mendung tebal, sehingga suasana menjadi sejuk dan menimbulkan rasa nyaman. Yang menakjubkan, Tanah Lot yang biasanya selalu dikunjungi wisatawan hingga berjubel, hari itu terasa lengang. Seorang pedagang suvenir di poros jalan menuju Pura Agung Tanah Lot itu sempat bercerita bahwa pandemi ini benar-benar mematikan. Jika dulu dalam kondisi normal ia bisa memiliki omzet rata-rata 2 juta rupiah per hari, maka kini ia hanya bisa mendapatkan rata-rata 100 ribu per hari, bahkan terkadang juga tidak sama sekali. Ia menyampaikan alasan tetap berdagang karena pandemi ini— menurutnya—cuma menawarkan 2 alternatif baginya: mati kelaparan atau mati terkena virus, dan ia memilih yang kedua seandainya ditakdirkan begitu.
Karena kondisi air laut sedang pasang, pengunjung tidak bisa merapat ke lokasi Pura Agung Tanah Lot. Dari seberang saja keindahan dan keagungannya dapat dinikmati. Agak prihatin melihat bahwa pulau di mana pura agung itu berdiri makin
mengecil karena abrasi air laut dengan gelombang dahsyat yang tak henti menerpanya sejak semula. Senang juga sempat berbincang dengan umat yang baru saja selesai melakukan sembah-hyang di pura agung itu. Pesona Pura Agung Tanah Lot memang tak pernah lekang dimakan zaman. Selalu ada getaran sukma tertentu setiap kali mengunjunginya. Setelah puas menikmati pesona pura, rombongan bergeser ke lokasi wisata lain dalam kompleks yang sama, yakni Batu Bolong. Disebut demikian karena tempat itu merupakan semenanjung kecil dengan sebuah pura di ujungnya, yang dinding bagian tengah bawah semenanjung itu berlubang (bolong), sehingga ombak bisa masuk menerjang dari satu sisi semenanjung ke sisi lainnya. Batu Bolong cukup eksotis sebagai objek atau latar belakang foto, baik selfie maupun wefie.
Makan Ikan di Pantai Eksotis
Setelah sedikit berbelanja suvenir dan aksesoris Bali, rombongan berjalan kembali menuju pusat keramaian Bali, Pantai Jimbaran, yang berjarak 33 km dari Tanah Lot. Dengan diiringi kelompok musik pantai, para anggota rombongan meluapkan emosi dan olah suara mereka dengan menyanyikan lagu-lagu yang dipilih sendiri, sambil menunggu hidangan ikan bakar dan ikan goreng yang dipesan di Sakura Resto, sebuah resto yang dikelola oleh Menega. Menega adalah resto pilihan utama jika makan ikan di Jimbaran. Ini resto terenak dan paling sesuai dengan selera. Seperti biasanya, kursi-kursi di pantai selalu sudah penuh, karena itu rombongan disarankan untuk ke resto Sakura yang ‘sama saja’, kata mereka. Memang benar, dari segi rasa benar-benar tidak membuat kecewa, karena sajian yang terhidang di sana benar-benar Menega banget. Hari itu perjalanan berakhir di sana sebelum pulang ke hotel untuk beristirahat.
Hari kedua diawali dengan sarapan pagi yang mengasyikkan, sementara beberapa anggota rombongan telah memanfaatkannya untuk melakukan olah raga dan aktivitas rekreasional yang lain di pantai belakang hotel. Karena keasyikan untuk foto-foto, maka jadwal pertama dalam itinerary hari ke-2 terlewatkan, yakni menonton Tari Barong. Rombongan kemudian memulai perjalanan hari ke-2 menuju Desa Wisata Penglipuran di Bangli yang berjarak 55 km.
Jarak-jarak perjalanan yang disebutkan tadi hingga nanti sebenarnya bertujuan untuk menggambarkan berapa jauh dan berapa lama rombongan berada dalam minibus bersama-sama. Di situlah waktu kebersamaan yang sesungguhnya. Perjalanan diisi dengan guyonan, saling celoteh, maupun pembicaraan antar pribadi seputar urusan sekolah. Pak Arif yang menjadi ‘bintang pencerita’ menguraikan banyak hal tentang blender, otak kanan-otak kiri, mubazir, Pak Teguh, sepikologi, index scopus, membagi mangga, masa emiritasi, serta tren anak muda kekinian, dll. Semua itu bisa dihubungkan dan dirangkai menjadi sebuah cerita dan topik yang tidak habis-habisnya hingga saat-saat terakhir perjalanan bersama. Keriangan yang timbul menembus kekakuan dan formalitas interaksi keseharian manakala para pengurus dengan serius bekerja memajukan Sekolah Tirtamarta BPK Penabur. Sungguh sebuah kebersamaan yang mengungkapkan kerinduan yang dalam dan jiwa yang menyatu dalam keseharian kerjasama di sekolah.
Di tengah perjalanan, tepatnya di Batubulan-Gianyar, rombongan menyempatkan diri mampir di toko batik Amerta yang juga merupakan sebuah sanggar, show room, sekaligus rumah produksi batik Bali. Namun sayang, ternyata rumah produksinya sudah tidak berproduksi kembali karena tekanan pandemi. Karyawan yang tadinya berjumlah 120 orang, kini tinggal 2 orang saja. Sementara alat-alat produksi batik yang dahulu dipergunakan dengan sangat aktif sehingga menunjukkan atraksi yang demonstratif, kini teronggok diam lama tak tersentuh karena produksinya telah benar-benar berhenti. Masih di Gianyar, tepatnya di Desa Celuk, hampir mendekati Pasar Sukowati, rombongan juga mengunjungi toko kerajinan perak Kartika yang tergolong halus penggarapannya. Yang menarik di situ juga ada museum, tepatnya show room, Keris Bali. Tidak terlalu banyak koleksinya, tetapi cukup beragam.
Harga jualnya lebih tergantung pada kehalusan dan bahan aksesorisnya dibandingkan bilah kerisnya sendiri, karena tidak ada keterangan apa pun tentang bilah keris tersebut. Hanya ukiran, gading, permata, emas, kayu, dan seni penggarapan warangka serta hulu (hilt) kerisnya saja yang ditonjolkan. Yang paling menarik adalah penampilan Keris Bali keluk 29 yang bisa disebut sebagai dhapur Rangga Wulung dengan panjang bilah 120 cm. Meskipun tidak termasuk yang termahal atau bersandangkan ukiran gading mahal, tetapi keris dhapur Rangga Wulung tadi benar- benar berwibawa dan menunjukkan eksistensi Balinya. Garapannya halus, besinya bermutu tinggi dan cukup tua, serta bentuknya utuh, meskipun tidak dikenali berasal dari tangguh (zaman) kapan.
Desa Terbersih di Dunia
Udara cerah dan sedikit berawan menyambut kedatangan rombongan di Desa Wisata Penglipuran, Bangli.
Meskipun kondisi sangat cerah, tetapi kesejukan khas Bangli masih benar-benar terasa. Angin bertiup sepoi menyamankan suasana pikiran dan hati. Deretan tanaman hijau menyambut rombongan kala memasuki Desa Penglipuran. Memasuki area desa, udara dan pemandangan makin terasa sejuk dan asri dengan pagar tanaman yang menghiasi seluruh area desa.
Desa Penglipuran adalah salah satu dari tiga desa yang dinobatkan sebagai desa terbersih di dunia. Dua desa yang lain adalah Desa Giethoorn di Belanda dan Desa Mawlynnong di India. Berkat kebersihan dan kerapiannya, Desa Wisata Penglipuran juga berhasil menyabet beberapa penghargaan, diantaranya Kalpataru, ISTA (Indonesia Sustainable Tourism Award) pada tahun 2017, dan yang terbaru, destinasi ini masuk dalam Sustainable Destinations Top 100 versi Green Destinations Foundation.
Konsep Tri Mandala
Tata ruang Desa Penglipuran mengusung patokan adat yang sudah turun temurun, yakni Konsep Tri Mandala di mana tata ruang desa dibagi menjadi tiga wilayah, yakni Utama Mandala, Madya Mandala, dan Nista Mandala.
Wilayah Utara—Utama Mandala— merupakan tempat yang dianggap suci, tempat para dewa, karena itu di sana didirikan pura sebagai tempat beribadah. Wisatawan masuk ke Desa Penglipuran melalui area ini.
Bagian tengah adalah zona yang disebut sebagai Madya Mandala yang merupakan pemukiman penduduk, di mana rumah-rumah penduduk dibangun berbanjar di sepanjang jalan utama. Ada sekitar 200 rumah dengan gaya tradisional berderet rapi dan seragam di sepanjang jalan menanjak yang terbuat dari batu alam. Bunga berwarna-warni dan rumput tumbuh tertata di sepanjang desa. Tidak menampilkan halaman dan suasana rumah yang centang perenang, tetapi menyuguhkan halaman luar gapura sebelum memasuki area rumah tempat tinggal. Di dalam masing-masing halaman rumahlah penduduk berjualan kain, aksesoris, suvenir, makanan khas, dan buah yang umumnya tumbuh dan dipetik dari kebun atau halaman rumah
mereka sendiri, seperti durian, pisang, manggis, mangga, atau alpukat untuk dijajakan kepada para wisatawan yang mampir ke rumah mereka. Meskipun hampir semua rumah menjual barang- barang yang sama, tetapi rezeki tiap rumah sepertinya telah diatur oleh yang Maha Kuasa sedemikian hingga tidak ada rumah yang terus laris, sedangkan di sisi lain ada yang tidak laku sama sekali. Semua rumah punya pengunjung, dan semua rumah punya rezeki sendiri. Di wilayah Madya Mandala tidak diperkenankan membuang sampah sembarangan, karena itu disediakan tempat sampah pada setiap jarak 30 meter di kanan- kiri jalan desa. Tidak ada satu pun kendaraan bermotor di desa ini, sehingga udara desa lebih terjaga dari polusi.
Wilayah paling selatan disebut dengan Nista Mandala. Tempat ini adalah zona khusus untuk pemakaman penduduk.
Kabut di Bukit Kintamani
Rombongan melanjutkan perjalanan menuju Kintamani yang tidak terlalu jauh dari Bangli, hanya berjarak sekitar 20 km. Mendekati Kintamani, kesejukan hawa terasa menerpa kulit, kabut tebal yang sedang turun sempat menimbulkan rasa gelisah. Pemandangan Gunung Batur, Bukit Kintamani, dan Danau Batur yang seharusnya terpampang jelas dari tempat makan yang dipilih, hanya tampak putih terselimut kabut. Duduk di sana benar-benar seperti sedang berada di atas awan. Rombongan makan siang dengan sukacita dalam balutan kabut yang sepertinya makin menebal. Selesai makan, kabut perlahan mulai menipis dan beberapa spot mulai terlihat. Kegembiraan sempat buyar manakala kabut tebal kembali menutupi seluruh areal spot. Dengan tetap bersukacita, berharap, dan berdoa, secara perlahan spot-spot yang ada mulai terlihat kembali hingga akhirnya seluruh hamparan muncul
di hadapan mata. Rombongan benar- benar dimanjakan oleh panorama itu, meskipun hanya sesaat. Sayang, pemandangan yang menakjubkan itu hampir tidak berhasil diambil sebagai latar belakang foto karena dengan cepat kabut kembali menguasai panorama indah itu.
Coffee Sanctuary
Rombongan kemudian memutuskan untuk melanjutkan acara dengan menikmati coffee-time di Starbucks Reserve Dewata Bali, di sunset road Seminyak yang berjarak sekitar 62 km dari Kintamani. Starbucks Reserve Dewata Bali ini sangatlah istimewa. Selain merupakan gerai Starbuck terbesar di Asia Tenggara, juga terdapat banyak menu yang hanya ada di Starbucks R Dewata Bali (sebutan lain untuknya). Suasananya yang cozzy menambah kenyamanan dan perasaan rileks untuk melepas lelah fisik dan pikiran setelah beraktivitas seharian. Starbucks Dewata juga sering disebut sebagai Starbucks Dewata Coffee Sanctuary (cagar alam), karena di dalamnya terdapat kebun kopi seluas 93 meter persegi. Lebih dari sekadar kedai kopi, Starbucks Dewata Coffee Sanctuary menyuguhkan pengetahuan dasar tentang proses pembuatan kopi serta asal daerah kopi kepada para pengunjung yang tertarik dan berminat mengetahuinya. Melalui semua suguhan keunikan itu, para pengunjung diharapkan memperoleh pengalaman terbaik minum kopi, sebuah wow experience.
Kuliner yang Memanjakan
Makan malam di Wahaha, sunset road Seminyak adalah sebuah pemanjaan terhadap selera kuliner babi. Selain iga babi (pork ribs) panggang yang menjadi sajian utama Wahaha, di sana juga bisa ditemukan deretan menu berbahan utama daging babi lainnya, seperti pork chop, pork knucle, sate babi, nasi babi, ataupun lawar babi. Beberapa peserta yang tidak terlalu menyukai daging babi memesan soto daging sapi dan menu ayam yang juga disediakan di sana. Makan malam yang ‘mewah’ itu menutup rangkaian acara hari ke-2.
Namun acara kebersamaan di antara pengurus tetap berlanjut di hotel dengan berbincang santai di tepi pantai hingga lewat tengah malam. Berbagai isu penting dibahas dan dibicarakan di antara para pengurus yang tidak disertai para pasangan mereka.
Check-Out
Hari ketiga diawali dengan aktivitas yang lebih pagi. Hari itu rombongan akan check-out sehingga malamnya sudah lebih dahulu packing agar esok pagi tidak repot mengatur bawaan. Meski sendiri-sendiri dan tidak dalam koordinasi khusus, hampir semua peserta menyempatkan diri berjalan- jalan santai pagi di tepi pantai menyusuri belakang beberapa hotel hingga di batas pengelolaan kawasan. Setelah sarapan dengan santai, para peserta kembali ke kamar untuk melakukan tes antigen di salah satu kamar. Tes berjalan lancar dan semua dinyatakan negatif COVID-19.
Garuda Wisnu Kencana (GWK)
Setelah urusan check-out selesai, rombongan berangkat menuju destinasi wisata Garuda Wisnu Kencana (GWK) Cultural Park yang terletak di jalan (menuju) Uluwatu, Desa Ungasan, Kuta Selatan, sekitar 12,5 km dari hotel. Di Garuda Wisnu Kencana Cultural Park, kami disambut cuaca cerah dan udara yang cukup panas. Fasilitas dan layanan wisatanya sudah tampak begitu modern meskipun landmark-nya belum tergarap secara tuntas.
Kompleks destinasi wisata berskala kolosal internasional ini digagas oleh Nyoman Nuarta (seniman patung Nasional asal Bali) dan dibangun di atas bekas tambang kapur yang luasnya 67 hektar. Pembangunannya dimulai sejak tahun 1990, dan baru mendapatkan izin dari Presiden Soeharto pada tahun 1993. Peletakan batu pertamanya dilakukan pada tahun 1997. Namun setahun kemudian, pembangunan terhenti karena krisis moneter. Meskipun Nyoman Nuarta membawa hasil potongan patung yang belum selesai (dari bengkelnya di Bandung) ke lokasi Expo GWK pada tahun 2000, tetapi belum ada respons yang berarti baik dari pemerintah atau pun investor yang mau mendanai kelanjutan proyek GWK. Setelah terkatung-katung selama 15 tahun tanpa kepastian sejak penghentian proyek—di mana desain patung sudah sempat berubah 5 kali—maka pada tahun 2013 Nyoman Nuarta menjual 82% asset GWK kepada PT. Alam Sutera Realty, Tbk., milik The Nin King, dengan harapan agar mega proyek GWK ini berlanjut. Sesuai harapannya, PT. Alam Sutera Realty segera melanjutkan pembangunan ini dan menargetkannya selesai pada 5 tahun berikutnya. Potongan-potongan patung yang telah dibuat terdahulu tidak digunakan lagi, tetapi segera dibuatkan model barunya. Pada akhirnya, setelah digagas dan dikawal dengan setia selama 28 tahun, Patung GWK ini selesai dan diresmikan pada 22 September 2018 oleh Presiden Jokowi.
Rombongan tidak mengambil waktu lebih banyak di GWK Cultural Park karena mepetnya perhitungan waktu, baik untuk makan siang maupun untuk check-in di bandara. Rombongan akhirnya makan siang di Warung Wardani yang menyuguhkan nasi campur halal sebagai menu utamanya, di samping menu tambahan yang lain. Menyantap nasi campur khas bali dengan sate tusuk dan sate lilit ditemani es cendol sungguh sangat memuaskan sebagai kuliner akhir yang menutup acara kebersamaan di Bali selama 3 hari-2 malam ini. Rombongan menggunakan sisa waktu efektif selama 40 meniit untuk belanja di toko oleh-oleh dan suvenir Krisna-Kuta, sebelum akhirnya bergerak menuju Bandara Udara Internationan I Gusti Ngurah Rai untuk kembali pulang ke Jakarta.•