Bicara tentang parenting, atau pola mendidik anak, setiap kita tentu punya cara yang berbeda-beda. Ada banyak tema pembinaan yang dapat kita ajukan agar orangtua menjadi orangtua yang baik dan efektif bagi anaknya. Namun bagaimana kita bisa menjadi orangtua yang autentik, merupakan pembahasan tersendiri yang spesifik.
Apa itu autentik? Yang pasti dalam berbagai pembahasan, orang atau orangtua yang autentik adalah orang yang bahagia dan bebas. Berlaku bebas sesuai dengan naturnya membuat seseorang tidak perlu lagi mendua atau berpura-pura. Ada kedamaian yang diperoleh saat seseorang menjadi diri sendiri tanpa terpengaruh dari luar dirinya yang menekan atau membuatnya pura- pura.
Orangtua yang autentik adalah orangtua yang memahami siapa dirinya, mengenal kelebihannya dan mengerti kelemahan dirinya. Untuk itu, tidak ada orangtua yang autentik yang tidak mau belajar dan terbuka untuk hal-hal baru.
Mengapa kita perlu menjadi orangtua yang autentik? Menjadi orangtua yang autentik tidak semudah yang kita bayangkan. Kita perlu menyangkal diri dengan membiarkan dan mengikhlaskan orang lain merendahkan kita tanpa memperhitungkan perlakuannya sebagai sesuatu yang membangun kita atau menjatuhkan kita, melainkan memberi ruang bagi pembelajaran yang terus-menerus. Kita bahkan berjuang untuk mendapatkan yang baik dari pengalaman yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Saat kita menjadi orangtua yang autentik, kita bisa menjadi pemimpin dan orangtua yang berintegritas, sehingga anak-anak kita dan orang di sekitar kita bisa melihat diri kita yang dewasa dan mengambil keputusan secara bijak untuk diteladani oleh mereka yang juga sedang belajar dan berelasi dengan kita.
Tentu saja ada banyak unsur yang kita perlu perhatikan untuk menjadi orangtua yang autentik. Salah satunya adalah bekal: mau belajar untuk mengenal diri seperti yang sudah disebutkan di atas. Dengan memahami kelebihan dan kelemahan kita, kita bisa memotivasi diri kita ke arah yang sesuai dengan pribadi kita.
Misalnya, orangtua yang hobi memasak tidak akan memaksa diri untuk menjahit
dan memperlihatkan kepada anak betapa baiknya ia dalam menjahit. Ia justru dapat menunjukkan bagaimana memasak makanan enak dan mengajari anaknya memasak. Di sisi lain, ketika ia tahu autentisitasnya, ia pun tidak akan memaksakan anaknya untuk menjadi seperti dirinya. Tidak akan lagi kata-kata, “Dulu Papa itu jago matematika sekelas. Dengan belajar tekun dan banyak bertanya pada guru, Papa bisa berhasil jadi juara satu. Jadi kalau kamu tekun dan rajin bertanya juga pada gurumu, pasti kamu akan jago matematika dan juara satu seperti Papa dulu!”
Orangtua seperti di atas tidak memahami kelebihan dan kelemahan dirinya secara autentik sehingga tidak bisa memahami kelebihan dan kelemahan anaknya. Ia tidak bisa melihat bahwa “Setiap anak unik dan berharga, spesial dengan talentanya masing-masing.” Akibatnya, anaknya akan sangat frustrasi karena harus menyesuaikan diri dengannya.
Memang konsekuensi menjadi orangtua yang autentik, awalnya anak-anak belum tentu melihat orangtua sebagai pahlawan. Misalnya, saat orangtua mengakui, “Aduh
maaf untuk pelajaran fisika, Mama tidak semahir Pak Z. Jadi pilihannya, kamu les dengan Pak Z atau belajar dengan teman-temanmu yang mahir dalam hal itu.” Namun saat anak-anak menangkap pesan dari autentisitas itu, mereka juga akan menghargai diri mereka sesuai dengan potensi yang ada pada mereka.
Alkitab mencatat bahwa Tuhan memberikan setidaknya satu talenta kepada setiap orang. Masing- masing diberi kesempatan untuk mengembangkannya sehingga menjadi berkat dan menghasilkan banyak buah.
Matius 25:14–30 mengisahkan tentang seorang tuan yang meninggalkan rumahnya untuk pergi ke luar negeri, dan sebelum pergi ia memercayakan harta miliknya kepada para hambanya. Harta tersebut diumpamakan dengan talenta—yang diterjemahkan ke dalam konteks kita berupa keahlian atau kemahiran yang berbeda-beda—yang biasanya bisa menghasilkan uang saat kita sudah dewasa.
Namun di dalam pelayanan gereja dan di dalam keluarga, keahlian atau talenta itu bisa berguna untuk hidup bersama dan saling melengkapi.
Di rumah kami, saya senang membereskan dan menata barang. Namun saya cepat bosan dengan apa yang saya sudah tata sebelumnya. Sebaliknya suami saya suka sekali memelihara aturan dan penataan yang sudah ada, sehingga saat saya memindahkan barang atau lupa mengembalikan ke tempatnya, dialah yang mengingatkan saya di mana saya meletakkannya.
Dalam parenting, kami pun melakukan pembagian tugas sesuai dengan kelebihan dan kekurangan kami. Saya tidak terlalu suka pada hal-hal rutin sehingga dalam membesarkan anak, sayalah yang mencari berbagai variasi acara, khususnya saat berlibur. Namun suami saya yang mengurus anak kami setiap harinya dengan ritual pagi sampai malam hari.
Setelah anak kami beranjak remaja, kami tahu bahwa autentisitas perlu dipertahankan dengan menemukan minatnya dalam studi perkuliahan. Sebetulnya saya senang sekali pada bidang psikologi dan saya merasa bahwa anak kami memiliki keahlian dalam memahami orang lain. Namun rupanya dia memiliki minat yang cukup besar dalam desain komunikasi visual, sehingga akhirnya dengan senang hati kami mendukung apa yang menjadi kesukaannya itu.
ANAK AUTENTIK, SUKSES PERLAHAN TAPI BAHAGIA
Saya ingat mengalami ketegangan saat anak saya berusaha mencerna pelajaran perkalian dengan logika. Pasalnya, jika ia tidak segera menghafal 5 x 5 = 25 dan seterusnya, dia akan gagal mendapatkan nilai terbaik saat ujian nanti. Namun rupanya ia tetap bersikeras hendak belajar melalui logikanya. Guru SD- nya mengajarkan cara mempelajari perkalian dengan membuat lingkaran-lingkaran kecil secara teratur dan menghitungnya satu persatu, seperti gambar di bawah ini.
00000
00000
00000
00000
00000
Gambar di atas menunjukkan gambar 5 bulatan kali 5 bulatan. Bayangkan, dengan cara menghitung setiap bulatan itulah anak saya maju menghadapi ujian harian sekolahnya. Saya sebetulnya sangat khawatir bahwa dia tidak akan mendapat nilai yang baik akibat proses memahami dan menuangkan jawaban yang lambat itu. Namun herannya, setelah 1 tahun berlalu, dia tetap bisa mendapatkan nilai baik dan mengingat perkalian tersebut satu persatu.
Proses rupanya lebih penting daripada mengharapkan kesuksesan instan atau sesaat. Kembali lagi ke bahasan tentang autentik, hanya orangtua yang autentik terhadap dirinya yang dapat mengajarkan anaknya untuk juga menjadi autentik.
Jika orangtua dan anak sama-sama autentik, bisa kita bayangkan keluarga tersebut menjadi keluarga yang penuh damai dan saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing. Bukan hanya penerimaan yang terjadi, melainkan juga penghargaan dan pengakuan akan keberhargaan masing-masing.
Mari kita coba, dimulai dari menerima kelebihan dan kekurangan diri serta kelebihan dan kekurangan anak kita, maka kita sedang menuju keluarga yang autentik. Silakan memeriksa dan memeriksa kembali hal-hal di bawah ini.
Selamat terus mengenal diri Anda dan anak Anda demi autentisitas keluarga! Tuhan memberkati tahun baru Anda untuk menjadi keluarga yang lebih harmonis dan penuh damai sejahtera.•
Pdt. Riani J. Suhardja