Kelahiran Yesus: Maria IMMANUEL



Seandainya Tuhan ingin bermitra dengan Anda, tetapi Anda harus mengorbankan hal yang paling berharga bagi Anda, apakah Anda bersedia? Saya percaya ini bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Mari kita perhatikan apa yang dialami Maria dan bagaimana responsnya terhadap tugas yang Tuhan berikan kepadanya.

 

Kita tidak dapat memastikan usia Maria. Seorang gadis Yahudi di zaman itu dapat bertunangan pada usia 12-14 tahun. Kita juga tidak dapat memastikan apakah ia tinggal sendiri atau bersama orangtuanya. Lazimnya gadis yang sudah bertunangan tetap tinggal bersama orangtuanya. Kita juga tidak dapat memastikan berapa usia Yusuf ketika mereka bertunangan. Umumnya para ahli berpendapat bahwa Yusuf sudah meninggal dunia ketika Yesus memulai pelayanan-Nya, sehingga ada yang berasumsi bahwa perbedaan usia Yusuf dengan Maria cukup signifikan, atau Yusuf memang meninggal di usia muda.

Saya membayangkan Yusuf bekerja keras untuk mendapatkan orderan dan memproduksi berbagai perabot, bahkan boleh dikatakan ia juga bersedia mengerjakan renovasi rumah, pengerjaan atap, demi mengumpulkan uang yang cukup untuk biaya resepsi. Seperti yang kita ketahui, Yusuf dan Maria bukanlah orang kaya (Luk. 2:22-24).

Saya coba membayangkan Maria sedang mempersiapkan pernikahannya bersama Yusuf. Mereka sudah foto pre-wed. Mereka sudah memesan tempat resepsi dan mencoba makanan terenak di Nasaret. Keluarga besar mereka berencana datang dari Betlehem. Mereka juga sudah memiliki desain undangan yang sederhana tetapi sangat cantik. Hati Maria bergembira karena ia akan segera menikah dengan pria yang tulus dan sangat mencintainya. Maria menantikan momen ini dengan penuh sukacita.

Namun kunjungan malaikat yang menyampaikan berita baik bahwa Maria akan mengandung seorang anak yang akan disebut sebagai Anak Allah yang Mahatinggi mendatangkan disrupsi pada kehidupannya. Maria harus menghadapi tekanan di tengah keluarga dan sahabat-sahabatnya. Cita- citanya untuk merayakan pernikahan yang normal seperti keluarga-keluarga lain kini terganggu. Tidak setiap orang percaya bahwa ia mengandung dari Roh Kudus. Sebagian orang bergosip bahwa ia hamil di luar nikah. Ada yang mengatakan itu anak Yusuf, ada juga yang berpendapat bahwa itu anak orang lain. Maria sungguh tertekan, tetapi ia memilih untuk menaati Tuhan. Yusuf juga sangat tertekan, tetapi ia terus memberikan dukungan kepada Maria. Pernikahan Maria akan berbeda dengan orang banyak. Ia akan menikah tetapi tidak boleh bersetubuh dengan Yusuf sebelum kelahiran Yesus Kristus. Ia harus menjaga kekudusan dirinya.

Ketika kandungan Elisabet berusia 6 bulan, Tuhan mengutus malaikat-Nya kepada Maria (Luk. 1:26-27). Anak tersebut harus diberi nama Yesus, “Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (Mat. 1:21). Kunjungan malaikat Gabriel dengan cara “masuk ke rumah Maria” (entered into the house) memberikan kesan bahwa kunjungan itu bersifat normal alias tidak terlalu membuat kaget gadis tersebut. Dalam kunjungan tersebut, Maria diberikan sebuah tugas yang sungguh besar, yakni mengandung Sang Juru Selamat yang telah dijanjikan Tuhan melalui para nabi. “Dia akan bertumbuh dewasa. Dia akan disebut ‘Anak Allah Yang Mahatinggi’” (Luk. 1:32). “Kerajaan-Nya bersifat kekal” (Luk.1:33).

Salam yang malaikat sampaikan kepada Maria mencakup janji penyertaan Tuhan. “Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan MENYERTAI engkau.” (Luk. 1:28). Kata Immanuel / לֵאּונָּמִע (Mat. 1:23; Yes. 7:14) mengandung makna “God is with us” atau “God is close to us”. Yohanes 1:14 mendeskripsikan “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran” (Yoh. 1:14).

Jika kita perhatikan janji Tuhan kepada para bapa iman, kita menemukan bahwa janji penyertaan-Nya selalu disertai dengan misi atau penugasan. Ishak harus tinggal sebagai orang asing. “Tinggallah di negeri ini sebagai orang asing, maka Aku akan MENYERTAI engkau dan memberkati engkau“ (Kej. 26:3). Yakub harus pulang dan berdamai dengan Esau dan kembali ke negeri yang dijanjikan Tuhan kepada Abraham. “Lalu berfirmanlah Tuhan kepada Yakub: ‘Pulanglah ke negeri nenek moyangmu dan kepada kaummu, dan Aku akan MENYERTAI engkau’” (Kej. 31:3).

Musa harus pergi untuk menghadap Firaun dan memimpin umat Tuhan keluar dari Mesir. Namun tanda yang diberikan-Nya kepada Musa sungguh tidak mudah, sebab bersifat sesuatu yang belum terjadi, yakni “umat Tuhan akan beribadah di gunung Sinai” (Kel. 3:12). “Oleh sebab itu, pergilah, Aku akan MENYERTAI lidahmu dan mengajar engkau, apa yang harus kaukatakan.” (Kel. 4:12)

Yosua harus melanjutkan misi Tuhan yang telah dipercayakan kepada Musa. “Kepada Yosua bin Nun diberi-Nya perintah, firman-Nya: “Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, sebab engkau akan membawa orang Israel ke negeri yang Kujanjikan dengan sumpah kepada mereka, dan Aku akan MENYERTAI engkau” (Ul. 31:23).

Kepada Yeremia, yang dalam usianya yang masih muda harus menghadapi para pembesar seperti raja, para pejabat kerajaan, para imam, para nabi. “Janganlah takut kepada mereka, sebab Aku MENYERTAI engkau untuk melepaskan engkau, demikianlah firman Tuhan” (Yer. 1:8).

Zerubabel dan Yosia harus melaksanakan tugas yang sangat berat, yakni membangun kembali Yerusalem dalam situasi krisis. “Tetapi sekarang, kuatkanlah hatimu, hai Zerubabel, kuatkanlah hatimu, hai Yosua bin Yozadak, imam besar; kuatkanlah hatimu, hai segala rakyat negeri, demikianlah firman Tuhan; BEKERJALAH, sebab Aku ini MENYERTAI kamu, demikianlah firman Tuhan semesta alam” (Hagai 2:5).

Orang-orang Kristen harus melaksanakan mandat Kristus tentang pemuridan. “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, Ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku MENYERTAI kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat. 28:19-20).

Dengan kata lain, PENYERTAAN TUHAN selalu disertai dengan PENUGASAN misi Kerajaan Allah. Abraham harus meninggalkan zona nyamannya, Ishak harus hidup sebagai orang asing (kerapuhan), Yakub harus kembali ke masa lalunya (broken relationship with Esau), Musa harus memimpin bangsa yang tegar tengkuk, Yosua harus menaklukkan Kanaan, Yeremia harus menegur bangsa yang menolak mendengarkan Tuhan, Maria harus mengandung Kristus Yesus. Sekalipun tugas-tugas tersebut berat, tetapi TUHAN MENYERTAI.

Dalam penyertaan-Nya, Tuhan tidak meniadakan kesulitan. Dia menyertai dan mengintervensi. Yusuf berpikir keras bagaimana cara mengakhiri relasi mereka tanpa melukai Maria. Yusuf menghadapi dilema yang sangat berat. Ia tulus hati. Ia menjaga kekudusan hidupnya. Ia ingin menceraikan Maria dan Tuhan mengintervensi. Perjalanan ke Betlehem sungguh tidak mudah, terutama bagi Maria yang sedang mengandung. Ditambah ramainya orang-orang yang pulang kampung sehingga Maria dan Yusuf tidak mendapatkan tempat, tetapi Tuhan menyediakan tempat bagi mereka. Atau ketika Herodes hendak memberikan perintah pembunuhan terhadap anak-anak kecil di Betlehem, Tuhan mengintervensi dengan  memerintahkan Yusuf membawa  Maria dan Anak itu ke Mesir (Mat. 2:13-14).

Janji penyertaan Tuhan bahkan terus berlaku setelah kematian Kristus.
Misalnya, ketika Yesus Kristus berada di atas kayu salib, “Kemudian kata- Nya kepada murid-murid-Nya: “Inilah ibumu!” Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya” (Yoh. 19:27).

Penyertaan Tuhan tidak berarti segala sesuatu harus berjalan dengan mulus dan lancar. Berita Natal merupakan damai di tengah gejolak. Bayangkan… Anda baru saja menyambut kelahiran seorang anak yang sangat manis. Anda mencintainya dengan sepenuh hati. Senyumnya membuat Anda dan pasangan Anda sangat berbahagia. Anda memeluknya dengan penuh kasih sayang. Namun kebahagiaan Anda sangatlah singkat. Aparat keamanan mendobrak pintu rumah Anda, merebut anak Anda dan membunuhnya. Ia mati seketika itu juga. Hati Anda hancur. Tidak lama kemudian Anda dan pasangan Anda menerima berita bahwa Kristus lahir di kota Anda dan kedatangan-Nya membawa berita damai. Apa respons Anda?
 

Apa yang dapat kita pelajari dari Maria?

MERENUNGKANNYA DALAM HATI
Maria mempunyai kebiasaan merenungkan di dalam hati. Misalnya, “Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu” (Luk. 1:28-29). “Tetapi Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya” (Luk. 2:19). “Tetapi mereka tidak mengerti apa yang dikatakan-Nya kepada mereka. Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Dan ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya” (Luk. 2:50-51).

Jika kita berada di posisi Maria, mungkin kita sudah mengajukan banyak sekali pertanyaan. “Tuhan, mengapa harus saya? Mengapa tidak orang lain saja? Tuhan kapan saya akan mengandung, bulan apa? Tuhan bagaimana saya harus menjelaskan kepada Yusuf? Terus bagaimana saya menghadapi orangtua saya dan  tetangga saya? Terus nanti bagaimana cara mengasuh bayi tersebut? Apa saja yang boleh dimakan-Nya dan apa saja yang tidak boleh? Pakaian jenis apa yang harus saya berikan kepada Anak tersebut?”

Saya sangat tertarik dengan respons Maria. Dia tidak bertanya kepada Gabriel “Mengapa saya disebut ‘yang dikaruniai’ dan apa artinya?” Maria juga tidak mengerti mengapa Tuhan berjanji untuk menyertainya. Ia memilih untuk merenungkan di dalam hatinya. Ia tidak membanjiri Tuhan dengan kata-kata. Ia memilih untuk diam dan merenungkan arti pesan Tuhan kepadanya.

MEMUJI TUHAN MESKIPUN BERAT HATI
Meskipun hatinya terasa berat atas tugas yang tidak sepenuhnya ia mengerti, ia memilih untuk memuji Tuhan, ”Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juru Selamatku, sebab Ia telah memerhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia” (Luk. 1:46- 48). “Karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus. Dan rahmat-Nya turun- temurun atas orang yang takut akan Dia” (Luk. 1: 49-50).

MENGENAL TUHAN
Maria mengenal Tuhan dengan baik. Tampaknya, ia mengenal firman Allah yang pernah diajarkan oleh para nabi. Maria berkata, Ia memperlihatkan kuasa-Nya … Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa … Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar … Ia menolong Israel, hamba-Nya… (Luk 1:51-54).

Maria tidak saja melihat dirinya, tetapi juga melihat misi Kerajaan Allah. Ia mengenal hati Tuhan. Misalnya, “Ketika mereka kekurangan anggur, ibu Yesus berkata kepada- Nya: “Mereka kehabisan anggur.” Kata Yesus kepadanya: “Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba.” Tetapi ibu Yesus berkata kepada pelayan-pelayan: ‘Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!’” (Yoh. 2:3-5).

TAAT MESTI TIDAK MENGERTI
“Kata Maria kepada malaikat itu: “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” (Luk. 1:34). Ia tidak mengerti bagaimana ia dapat mengandung karena ia belum bersuami. Namun malaikat Gabriel menjelaskan bahwa Roh Kuduslah yang akan menaungi dirinya. “Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil” (Luk. 1:37).

Respons Maria sungguh menakjubkan. Meskipun ia tidak mengerti dan tidak sanggup mencerna apa yang terjadi, ia memilih untuk percaya dan berserah penuh kepada otoritas Tuhan. Maria berkata, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk. 1:38).

Periksalah Hati Kita!
Periksalah kepercayaan kita kepada Tuhan. Apakah kita sungguh- sungguh percaya kepada-Nya? Apakah kepercayaan kita kepada- Nya melampaui kepercayaan setan- setan, atau justru sama? Yakobus 2:9 menegaskan ”Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setan pun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.”Kepercayaan terhadap Kristus bersifat RELASIONAL. Kita belum benar-benar percaya kepada- Nya jika kita belum berelasi dekat dengan-Nya.

The best way to live our lives is to be with HIM always. Cara terbaik menjalani kehidupan kita adalah bersama Tuhan senantiasa. Apa gunanya kesuksesan tanpa penyertaan-Nya? “Ia menetapkan dua belas orang untuk MENYERTAI-NYA dan untuk diutus-Nya memberitakan Injil” (Markus 3:14). Kita tidak mungkin dapat bekerja bagi Tuhan tanpa menyertai-Nya. We cannot work for God without being with Him.

Sering kali kita tidak dapat keluar dari labirin pikiran kita sendiri. Immanuel bagaikan “God breaking into the maze of our mind” dan membawa kita keluar. Maukah kita melepaskan ketakutan dan kekacauan pikiran kita dan mengikuti Kristus?

Immanuel does not make the unknown known to us, but most importantly God walks with us into the unknown making the unknown no longer scary to us because He knows us and we know Him. Immanuel tidak menyatakan apa yang tidak kita ketahui, akan tetapi Tuhan beserta kita ke dalam masa depan yang tidak kita ketahui. Yang terpenting adalah Dia mengenal kita dan kita mengenal Dia. •

 

 

 

Pdt. Lan Yong Xing